Spinner Icon

Pro dan Kontra Revisi Ketentuan KPR FLPP

Author Image
Berita Terkini · 11 Maret 2019

Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk merevisi batasan gaji maksimum penerima fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan.

Kendati relaksasi batas gaji maksimum penerima FLPP dinilai akan membawa dampak positif, namun ada beberapa dampak negatif yang perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan dan pelaku perbankan.

Seperti diketahui, pemerintah akan melonggarkan pemberian FLPP dengan cara meningkatkan batas gaji dari maksimal Rp4 juta menjadi Rp8 juta. Perubahan itu rencananya masuk dalam revisi Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) nomor 26/PRT/M/2016 dan Keputusan Menteri PUPR no.552/KPS/M/2016.

Pertimbangan pelonggaran itu yakni untuk memudahkan masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah, terutama dari kalangan aparatur sipil negara (ASN), TNI dan Polri.

Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Piter Abdullah tersebut akan berdampak positif terhadap permintaan pasar, terutama di tengah pertumbuhan pasar property yang masih lesu.

“Sudah bisa dipastikan [rencana tersebut] akan menaikkan demand terhadap fasilitas ini sekaligus akan mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perumahan secara cukup signifikan,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.  

Akan tetapi, dia tak menampik adanya potensi dampak negatif, terutama dari sisi perbankan yakni peningkatan rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bank. Walhasil kinerja dan pembentukan laba bank kemungkinan akan berkurang karena bank perlu mempertebal pencadangan kredit bermasalah.

“Setiap kebijakan pasti ada sisi negatifnya, dengan kebijakan ini pertumbuhan  kredit perumahan akan tumbuh lebih cepat dan tentunya akan menaikkan risiko NPL,” katanya.

Meski demikian, lanjut Piter, risiko pemburukan kredit tersebut masih bisa dimitigasi. Dia mengingatkan pembuat kebijakan dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mempertimbangkan hal tersebut dalam penyusunan ketentuan teknis pelonggaran FLPP.

Secara terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan revisi ketentuan batas gaji tersebut bukanlah solusi yang tepat untuk mendorong realisasi target pembangunan 1 juta rumah.  

"Seharusnya ditunda dulu revisinya," kata Bhima.

Menurutnya, selain berpotensi menggerus pasar kredit pemilikan rumah (KPR) nonsubsidi yang sudah ada, revisi tersebut juga berpotensi membuat penyaluran rumah subsidi menjadi tidak tepat sasaran.

Selain itu tujuan KPR FLPP untuk dorong masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) juga menjadi bergeser. Padahal di satu sisi, masih banyak ASN [aparatur sipil negara] yang bergaji relatif rendah yang membutuhkan rumah.

Dengan kenaikan batas gaji, bank akan cenderung memilih ASN dengan kemampuan finansial yang lebih baik, sehingga target penyaluran rentan kurang tepat sasaran. Selain itu, kondisi ini juga dikhawatirkan justru menurunkan pertumbuhan kredit KPR bank secara umum. 

"Dengan kata lain nasabah tidak bertambah tapi hanya bergeser, artinya efek kepada pertumbuhan KPR justru negatif," ujarnya.

Alih-alih menaikkan batas maksimum gaji penerima KPR FLPP menjadi Rp8 juta, menurut Bhima, seharusnya perbankan yang didorong agar lebih erat bekerjasama pemerintah daerah untuk menggenjot target penyerapan KPR bersubsidi.

"Target MBR terkendala belum adanya database target yang jelas khususnya calon debitur di luar PNS. Pembenahan database yang bisa dibagikan antarbank penyalur FLPP jadi kunci utama. Selain itu bank harus proaktif menggandeng pemda dalam rancangan pembangunan rumah bersubsidi, contohnya program DP 0% yang dilakukan DKI Jakarta," kata Bhima.  

Selain itu, bank juga perlu aktif kerja sama dengan perusahaan swasta untuk menawarkan program KPR subsidi ke karyawannya. “Di Bekasi dan Karawang banyak buruh pabrik yang belum punya rumah, nanti jaminan bisa gunakan surat dari perusahaan tempat bekerja," tuturnya.

Sementara itu, kalangan bankir justru menyambut baik relaksasi aturan penyaluran KPR FLPP. Pasalnya, dengan naiknya batasan gaji maksimum, jumlah ASN yang dapat dibiayai bank menjadi lebih banyak.

Menurut Direktur Keuangan PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. Ferdian Satyagraha, dampak positif perubahan tersebut yakni pasar hunian subsidi yang semakin lebar. Apalagi masih ada puluhan ribu ASN di Jawa Timur yang belum memiliki rumah.

Selain menaikkan batas gaji maksimum, pemerintah juga dinilai perlu memberi kemudahan bagi pengembang terkait pembangunan rumah subsidi agar penambahan pasokan dapat sejalan dengan penambahan permintaan.

“Kebetulan di Jatim mulai ada perbaikan remunerasi sehingga [ketentuan gaji penerima KPR FLPP] maksimal Rp4 juta menjadi kurang. Secara repayment, akan bisa lebih baik. Risiko negatif kecil, hanya menggerus sedikit pasar nonsubsidi,” katanya.

Adapun, Bank Jatim merupakan salah satu dari penyaluran KPR FLPP yang ditunjuk pemerintah. Tahun ini perseroan menargetkan penyaluran 350 unit KPR FLPP. Target tersebut meningkat dari realisasi tahun 2018 sebanyak 331 unit dengan nilai kredit Rp32 miliar.

Terpisah, Corporate Secretary PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (Bank Sumut) Syahdan Ridwan Siregar menyatakan perubahan tersebut akan membantu ASN mendapatkan fasilitas rumah yang layak. Meski mengaku kelak siap menjalankan perubahan aturan tersebut, Syahdan mengatakan perseroan masih menunggu revisi resmi dari KementeriN PUPR.

“Pasar perumahan nonsubsidi memang sejak munculnya FLPP mulai tergerus, hal ini karena murahnya harga rumah subsidi. Pada prinsipnya kami lihat dulu seperti apa detail perubahannya,” katanya.

Tak hanya bank skala menengah kecil yang menyambut revisi KPR FLPP. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. juga menyatakan kenaikan batasan gaji maksimum hingga dua kali lipat akan berdampak positif bagi industri properti dan bank.

Direktur Retail Banking Bank BNI Tambok P Setyawati berujar, potensial buyer menjadi lebih besar yang akan mendorong para developer menyediakan pasokan rumah di segmen tersebut.

“Bagi bank, kebijakan ini menjadi peluang untuk meningkatkan penjualan KPR karena dapat menyalurkan kredit dengan suku bunga bersaing dan memiliki potensial market yang cukup besar,” katanya.

Setali tiga uang, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. sebagai bank dengan porsi penyaluran FLPP mayoritas juga menyatakan hal yang sama.  

"Untuk bank, terutama BTN, [penaikan batasan gaji tersebut] tentu bagus karena berarti makin memperbesar potential customer yang lebih layak lagi untuk dibiayai," kata Direktur Keuangan dan Treasuri Bank BTN Iman Nugroho Soeko.

Sebagai informasi, untuk 2019 Kementerian PUPR memangkas jumlah bank yang digandeng sebagai penyalur FLPP menjadi 25 bank dari sebelumnya 40 bankpada 2018. Pemilihan tersebut didasarkan pada kemampuan bank mencapai 100% target KPR FLPP pada tahun sebelumnya.


Sumber: ekonomi.bisnis.com

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua