Spinner Icon

Sudahkah Rakyat Indonesia Punya Rumah Layak Huni?

Author Image
Berita Terkini · 27 Agustus 2018
HARI Perumahan Nasional (Hapernas) diperingati setiap 25 Agustus. Tanggal ini sangat bersejarah bagi perjalanan pembangunan perumahan di Indonesia karena pada 25-31 Agustus 1950, pemerintah untuk kali pertama menyelenggarakan Kongres Perumahan Rakyat Sehat di Kota Bandung. Kongres tersebut dihadiri oleh berbagai perwakilan pemerintah di level pusat dan daerah, organisasi kepemudaan serta para tokoh atau ahli di bidang perumahan. 


Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta juga didaulat untuk memberikan pidato yang secara garis besar berisi dorongan semangat kepada seluruh penyelenggara negara untuk mewujudkan hunian layak bagi seluruh rakyat Indonesia. Hapernas bukanlah sebuah perayaan kolosal sebagaimana hari besar lainnya, melainkan momentum perenungan mendalam di tengah beratnya tantangan pemenuhan kebutuhan papan di Indonesia. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang diolah dari hasil Pendataan Keluarga (BKKBN) tahun 2015 menunjukkan, masih ada sekitar 13 juta kepala keluarga (KK) di Indonesia yang belum memiliki rumah dengan status hak milik. 


Sebanyak 8,5 juta di antaranya masih hidup menumpang, baik dengan keluarganya sendiri maupun dengan orang lain. Lalu hasil olahan data TNP2K juga menunjukkan bahwa masih ada sekitar 3 juta unit rumah di Indonesia yang tergolong tidak layak huni. Di samping itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun yang sama juga mencatat masih ada 6,5 juta keluarga di Indonesia yang tinggal di rumah dengan luasan di bawah standar minimal kelayakan hunian. Kondisi ini tentu jauh dari harapan dan cita-cita para pendahulu yang hadir pada acara Kongres Perumahan Sehat. Soeandi dan Soekander yang pada saat itu mendapatkan kesempatan untuk memaparkan gagasannya menyatakan bahwa setiap rumah harus memiliki luasan minimal 36 meter persegi. 


Bagi mereka, penetapan standar luasan rumah semestinya tidak hanya mempertimbangkan faktor ekonomi, juga faktor higienitas, sosial dan pedagogi. Mereka khawatir jika setiap anak tinggal di hunian yang terlalu sempit, maka mentalitasnya akan menjadi inferior (atau dalam bahasa Belandanya minderwaardigheidscomplex). Pemerintah memang tidak lepas tangan dengan persoalan perumahan, khususnya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pemerintah telah melaksanakan berbagai program, baik dari sisi penyediaan maupun pembiayaan, seperti program Satu Juta Rumah, Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), dan lain-lain. Namun, program-program ini masih belum berjalan optimal karena sebagian besar pelaksanaannya di daerah terkesan sporadis dan tidak terencana dengan matang. 


Padahal idealnya, kompleksitas permasalahan perumahan membutuhkan upaya penyelesaian yang konsisten, sistematis dan terencana. Pemerintah bisa mulai fokus terlebih dahulu dengan memperkuat peran produk rencana perumahan dan kawasan permukiman di daerah. Upaya ini sangat penting karena banyak produk rencana, seperti salah satunya Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RPK3P), dalam prakteknya belum menjadi pedoman untuk mengelola pembangunan perumahan di daerah. Faktor penyebabnya bermacam-macam, mulai dari buruknya kualitas rencana, kealpaan dasar hukum sampai masalah sinkronisasi dengan produk perencanaan lainnya (Rencana Tata Ruang dan Rencana Pembangunan). Dampaknya, mayoritas pemerintah daerah (Pemda) hanya terjebak dalam rutinitas sebagai pelaksana program perumahan yang dirancang sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tampak kurang responsif menjawab tantangan dan masalah riil yang ada di sekitarnya. Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2016 kembali mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyusun dua produk rencana yang baru yaitu Rencana Kawasan Permukiman (RKP) dan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan (RP3). 


Tugas baru ini adalah kesempatan bagi Pemda untuk memperbaiki kelemahannya yang lalu selama menyusun berbagai produk perencanaan di bidang perumahan dan permukiman. Dari sekian banyak kelemahan, salah satu yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus adalah terkait persoalan pendataan. Masalah kelangkaan data seringkali menghambat upaya tim penyusun rencana untuk mengidentifikasi permasalahan dan menyusun strategi yang tepat untuk menyelesaikannya. Masalah ini juga menjadi penyebab munculnya perbedaan pandangan di antara para stakeholders, contohnya dalam  kasus kepastian berapa jumlah kebutuhan atau permintaan rumah di level nasional dan daerah. Selain itu, produk rencana perumahan yang baru diharapkan tidak lagi berbentuk ‘general plan’ yang sekedar berisi arahan-arahan umum saja, melainkan berisi program konkret yang bisa diimplementasikan secara langsung sampai berakhirnya periode perencanaan. 


Sebagai contoh, dalam kasus pembangunan Rusunawa, dokumen RP3 bisa berisi target pembangunan beserta cara untuk mencapainya. Dokumen ini juga seharusnya berisi strategi yang dibutuhkan untuk mengantisipasi berbagai pemasalahan yang sering muncul selama masa pra-pembangunan, masa konstruksi sampai pasca pembangunan (kegiatan pengelolaan Rusunawa). Dengan program yang konkret dan komprehensif, kita tidak akan lagi menghadapi proyek Rusunawa yang tidak terencana dengan baik seperti akses dan infrastruktur pendukung yang serba terbatas, atau pengelolaan yang ala kadarnya.


 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua