Spinner Icon

Perkembangan Kredit Perumahan

Author Image
Makro Update · 8 Juni 2017

Perkembangan Kredit Perumahan

 

PERTUMBUHAN KPR BELUM SEKUAT YANG DIPERKIRAKAN

 

Relaksasi LTV di sektor Perumahan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan KPR, yang pada akhirnya akan dapat mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Namun setelah hampir 2 tahun implementasi ternyata hasilnya tidak sebesar perkiraan awal. Relaksasi tambahan dapat menjadi opsi untuk dapat terus mendorong pertumbuhan kredit perbankan.

 

PERKEMBANGAN TERKINI KREDIT PERUMAHAN

Relaksasi kebijakan Makroprudensial yang diterapkan Bank Indonesia (BI) sudah hampir berjalan dua tahun, sejak diimplementasikan pertama kali tanggal 18 Juni 2015 (grafik 1). Kemudian pada tanggal 1 September 2016, kembali dilakukan relaksasi kebijakan Makroprudensial yang ketika itu diharapkan akan dapat mendorong pertumbuhan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sebesar 3,7ppt dalam periode 12 bulan sejak diterapkan. Namun setelah hampir 2 tahun sejak awal implementasi, ternyata efek relaksasi terhadap pertumbuhan kredit perbankan belum terlihat.

Report kali ini merupakan kelanjutan dari report “Perkembangan Kredit Perumahan” yang dikeluarkan tanggal 14 Oktober 2016. Report ini berusaha melihat bagaimana perkembangan kredit perumahan sejak relaksasi diterapkan sampai triwulan pertama 2017.

 

Grafik 1. Penerapan Ketentuan LTV KPR di Perbankan Konvensional dan Syariah


Sumber: Bank Indonesia

 

Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi moneter, sejak awal tahun 2016 sampai dengan kuartal 1 2017 Bank Indonesia menjalankan Kebijakan Moneter yang akomodatif dalam bentuk:

1.       Kebijakan Suku Bunga, dengan menurunkan suku bunga acuan (policy rate) sebesar 150bps

2.       Kebijakan Likuiditas, melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 150bps

3.       Kebijakan Makroprudensial, dalam bentuk relaksasi LTV/FTV untuk sektor perumahan

Dan untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, Kebijakan Moneter BI teersebut akan melalui dua jalur yaitu:

1.       Jalur SUKU BUNGA: seiring dengan penurunan policy rate maka suku bunga bank yang lain juga ikut turun, yaitu:

a.        Suku Bunga Deposito turun sebesar 133bps

b.       Suku Bunga Kredit turun sebesar 93bps

c.        Suku Bunga KPR turun sebesar 77bps

Suku bunga perbankan memang turun mengikuti policy rate, namun penurunannya tidak secepat penurunan policy rate.

2.       Jalur KREDIT: dengan turunnya suku bunga maka diharapkan pertumbuhan kredit akan meningkat, namun dalam kenyataannya kenaikan pertumbuhan kredit relatif lambat, dimana:

a.        Pertumbuhan Kredit hanya 9,2% yoy

b.       Pertumbuhan Kredit Rupiah sebesar 8,9% yoy

c.        Pertumbuhan KPR hanya 8,7% yoy

Hal ini terjadi karena perbankan masih fokus pada mengelola kualitas kredit ditengah jumlah kredit macet yang terus meningkat.

Dari grafik 2 tampak bahwa ketika relaksasi makroprudensial dijalankan di Juni 2015, pertumbuhan KPR berada pada level 7,0% yoy, yang berarti merupakan pertumbuhan terendah sejak tahun 2012. Adanya relaksasi di sektor perumahan tidak berdampak banyak pada pertumbuhan KPR karena pertumbuhannya relatif stagnan dan meningkat sedikit ke level 7,2% yoy di September 2016. Setelah relaksasi tahap kedua pada bulan September 2016 dijalankan, pertumbuhan KPR mulai menunjukkan peningkatan dan berada pada level 8,7% yoy di bulan Maret 2017.

Sementara itu, kredit ke pengembang (Real Estat) tumbuh dari 7,5% yoy di Juni 2015, kemudian meningkat ke level 13,2% yoy di September 2016, namun sedikit terkoreksi menjadi 12,4% yoy di Maret 2017.

 

Grafik 2. Pertumbuhan Kredit Perumahan Industri Perbankan


Sumber: OJK

 

Selama ini faktor permintaan (demand) dianggap menjadi faktor utama lambatnya pertumbuhan KPR, namun bila dilihat dari grafik 3 akan tampak bahwa demand bukan satu-satunya penyebab. Dari grafik 3 terlihat bahwa rasio NPL dari KPR menunjukkan tren yang meningkat sejak kebijakan makroprudensial sektor perumahan diterapkan pada bulan Juni 2012. 

 

Grafik 3. Pertumbuhan dan Rasio NPL dari KPR   


Sumber: OJK

 

Bahkan jika dilihat pada grafik 4, rasio NPL dari KPR lebih tinggi daripada NPL Total Kredit yang justru mengalami tren yang menurun sepanjang periode commodity boom di tahun 2013. Meskipun sempat stabil sejak awal tahun 2013, namun rasio NPL KPR meningkat kembali di tahun 2016.

 

Grafik 4. Perbandingan rasio NPL Total Kredit dan rasio NPL KPR


Sumber: OJK

 

Semenjak relaksasi makroprudensial di bulan Juni 2015, tampaknya faktor supply juga ikut mempengaruhi pertumbuhan KPR. Karena menghadapi kredit bermasalah yang terus meningkat, maka perbankan menaikkan standar pemberian KPR yang berujung pada lambatnya penyaluran KPR. Hal ini tidak terlepas dari penelitian yang menyebutkan bahwa 75% dari pembelian rumah dilakukan konsumen melalui pinjaman bank (KPR).

Namun seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat, pertumbuhan KPR membaik di kuartal 1 2017. Posisi ini diharapkan akan terus meningkat mengingat pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan terus meningkat. Dengan menggunakan prediksi Bank Indonesia, yaitu akan ada peningkatan pertumbuhan KPR sebesar 3,7ppt dalam 12 bulan, maka pertumbuhan KPR akan dapat berada di kisaran 11-12% yoy di akhir tahun 2017.

Sementara jika dilihat pada grafik 5 tampak bahwa pengembang lebih banyak memanfaatkan relaksasi makroprudensial karena sebelumnya mereka sangat bergantung pada dana sendiri. Karena itulah maka kredit ke pengembang meningkat dari 7,5% yoy di Juni 2015 menjadi 13,2% yoy di September 2016, meskipun akhirnya terkoreksi ke level 12,4% yoy di Maret 2017.

 

Grafik 5. Pertumbuhan dan Rasio NPL dari Kredit ke Real Estat                 


Sumber: OJK

 

Kredit bermasalah juga menjadi faktor penghambat pertumbuhan kredit ke pengembang, namun berbeda dengan KPR, kredit bermasalah baru muncul setelah pengetatan makroprudensial di bulan September 2013. Kredit bermasalah sempat turun setelah relaksasi bulan Juni 2015, namun posisinya kembali meningkat dan bahkan besarannya sama dengan rasio NPL total kredit.

 

Grafik 6 Perbandingan rasio NPL Total Kredit dan rasio NPL Kredit ke Real Estat


Sumber: OJK

Meskipun saat ini hanya 23% dari pengembang yang memanfaatkan kredit bank sementara masih 56% sisanya yang menggunakan dana sendiri, kondisi ini justru menunjukkan peluang perbankan untuk terus mendorong penyaluran kredit bagi pengembang.

 

PERKEMBANGAN KREDIT PERUMAHAN NASIONAL DAN BANK BTN

Pertumbuhan kredit ke Real Estat (Kredit Konstruksi) Nasional menunjukkan tren yang meningkat semenjak adanya relaksasi makroprudensial karena banyak pengembang yang kembali memanfaatkan sumber dana pinjaman dari bank, setelah sebelumnya banyak yang menggunakan dana sendiri. Dari grafik 9 terlihat bagaimana Kredit ke Real Estat meningkat dari -15,9% yoy di bulan April 2015 menjadi 7,5% yoy di bulan Juni 2015 dan meningkat terus sampai 12,4% yoy di Maret 2017.

Setelah relaksasi bulan Juni 2015, penyaluran Kredit Konstruksi BTN juga ikut meningkat sehingga rata-rata pertumbuhannya sepanjang tahun 2015 mencapai 27% yoy. Namun kondisi berubah sejak awal 2016 dimana pertumbuhannya melambat terus sampai level 16% yoy di Desember 2016, sehingga rata-rata pertumbuhan turun menjadi hanya 21% yoy di sepanjang tahun 2016. Memasuki tahun 2017, pertumbuhannya  kembali meningkat dan mencapai 18,4% yoy di Maret 2017. Periode ini menarik untuk diamati karena pertumbuhan Kredit Konstruksi bank BTN meningkat ketika Kredit Real Estat Nasional justru melambat.

 

Grafik 7. Pertumbuhan Kredit Real Estate (Konstruksi) Nasional dan bank BTN


Sumber: OJK  dan bank BTN

 

Grafik 8 menunjukkan pertumbuhan KPR Nasional mengalami tren yang meningkat sejak BI mengeluarkan kebijakan relaksasi LTV. Namun kenaikan pertumbuhan masih belum sekencang yang diperkirakan sebelumnya, dimana pertumbuhan hanya naik dari 7,0% yoy di Juni 2015 menjadi hanya 8,7% yoy di Maret 2017.

Di sisi lain, pertumbuhan KPR bank BTN masih menunjukkan kenaikan pertumbuhan sampai paruh pertama 2016, namun setelah itu justru menunjukkan penurunan pertumbuhan meskipun mengalami sedikit peningkatan di bulan Maret 2016 sebesar 18,9%.

Jika berbicara mengenai penyaluran KPR bank BTN harus dibedah lagi menjadi KPR Subsidi dan KPR Non Subsidi karena masing-masing mempunyai tingkat playing field yang berbeda. KPR Subsidi menjadi kekuatan bank BTN karena menguasai hampir 97% pangsa program perumahan bersubsidi yang merupakan salah satu program prioritas pemerintah. Namun karena merupakan program pemerintah, maka besarannya sangat tergantung pada anggaran pemerintah.

Sebagai entitas bisnis tentu saja bank BTN akan tetap berusaha mencari keuntungan yang akan diperoleh jika dapat memperbesar ceruk penyaluran KPR Non Subsidi karena pada dasarnya tipe konsumen KPR ini bersifat inelastis terhadap perubahan harga. 

 

Grafik 8. Pertumbuhan KPR Nasional dan bank BTN


Sumber: OJK  dan bank BTN

 

Pertumbuhan KPR Subsidi bank BTN meningkat seiring dengan program pemerintah “1 juta rumah”. KPR subsidi menjadi pendorong utama penyaluran KPR bank BTN dengan pertumbuhan tahunan yang mencapai rata-rata 30% selama periode Maret 2016-Maret 2017. Sebagai penyalur utama KPR subsidi maka pertumbuhan sebesar itu adalah suatu keniscayaan meskipun porsi KPR subsidi hanya 46% dari total KPR bank BTN.

Namun ketika sudah mencapai pertumbuhan 30% yoy di pertengahan 2016, angka pertumbuhannya justru stagnan di 30% yoy dengan kecenderungan mengalami penurunan. Dan sebagai entitas bisnis tentu saja bank BTN tidak dapat hanya bergantung pada KPR Subsidi, karena itulah maka KPR Non Subsidi harus mendapat perhatian lebih.

 

Grafik 9. Pertumbuhan KPR Nasional dan bank BTN


Sumber: OJK  dan bank BTN

Sementara itu, setelah relaksasi LTV bulan Juni 2015 KPR Non Subsidi bank BTN terus mengalami penurunan pertumbuhan. Padahal pada periode yang sama, penyaluran KPR nasional justru mengalami peningkatan pertumbuhan, meskipun peningkatannya tidak besar. Kombinasi antara fokus pada KPR Subsidi dan semakin tingginya persaingan di KPR Non Subsidi dengan bank lain menjadi faktor penurunan pertumbuhan KPR Non Subsidi ini.

Namun setelah menyentuh level terendah sebesar 9,9% yoy di Oktober 2016, pertumbuhannya menunjukkan tren yang meningkat dan mencapai level 11,1% yoy di Maret 2017. Yang perlu menjadi perhatian adalah selisih pertumbuhan KPR Nasional dengan KPR Non Subsidi bank BTN yang terus turun dari 10,6% di Juni 2015, menjadi 4,2% di September 2016, dan akhirnya hanya 2,4% di Maret 2017. Menipisnya selisih ini perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat sudah muculnya momentum kenaikan pertumbuhan KPR di tahun 2017 seiring dengan membaiknya daya beli masyarakat Indonesia. Artinya, persaingan di segmen KPR Non Subsidi akan semakin meningkat.

 

POTENSI KREDIT PERUMAHAN

Tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan KPR dan Kredit ke Real Estat itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Grafik 10 menunjukkan bagaimana kedua jenis kredit tersebut mengalami tren menurun sejalan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Dan ketika pertumbuhan ekonomi nasional rebound di pertengahan tahun 2015, kedua jenis kredit tersebut juga terakselerasi.

Seperti sudah dibahas di bagian depan, efek dari relaksasi kebijakan makroprudensial jilid 1 dan 2 lebih dirasakan oleh Kredit Real Estat karena sebelumnya mereka lebih banyak menggunakan dana sendiri. Sementara pertumbuhan KPR juga mengalami kenaikan namun lebih stagnan akibat perbaikan daya beli masyarakat yang belum mengalami perubahan yang signifikan dan juga dinaikkannya standar pemberian KPR oleh bank seiring dengan meningkatnya NPL.

Kinerja di kuartal 1 2017 sudah memberikan tanda-tanda perbaikan, dimana seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,0% yoy, pertumbuhan Kredit ke Real Estat dan KPR ikut meningkat, yaitu masing-masing 12,4% yoy dan 8,7%.

 

Grafik 10. Pertumbuhan PDB dan Pertumbuhan KPR Nasional


Sumber: OJK  dan bank BTN

 

Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan terus menunjukkan tren yang meningkat dimana untuk kuartal 4 2017 diprediksi mencapai 5,4% yoy. Dan sejalan dengan perbaikan ekonomi maka pertumbuhan sisi supply dan demand dari sektor perumahan juga diperkirakan akan meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat akan mendorong daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan dapat mendorong permintaan akan kredit perumahan, sehingga pertumbuhan KPR dapat mencapai 12,0% yoy di akhir tahun 2017. Meningkatnya sisi permintaan akan mendorong pertumbuhan sisi penawaran, sehingga Kredit ke Real Estat dapat tumbuh mencapai 16% yoy pada akhir 2017.

 

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Sebagai agen utama penyalur KPR Subsidi, bank BTN memang tetap harus fokus pada segmen tersebut. Permintaan dan penawaran untuk segmen ini memang masih sangat banyak sehingga potensi masih akan sangat banyak untuk dapat digali. Namun karena segmen ini merupakan program pemerintah, maka mau tidak mau sangat tergantung pada anggaran pemerintah.

Sebagai entitas bisnis tentu saja bank BTN juga perlu mencari keuntungan. Keuntungan yang lebih besar dan yang dapat dikontrol sendiri oleh bank BTN adalah segmen KPR Non Subsidi. Momen percepatan pertumbuhan untuk KPR Non Subsidi sudah muncul di kuartal 1 2017 seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional. Upaya mendorong KPR Non Subsidi dan memperbesar ceruknya menjadi opsi penting bagi bank BTN untuk tetap dapat menjadi bank terdepan di sektor perumahan.

Seperti pepatah “ada gula ada semut” maka KPR Non Subsidi saat ini menjadi sasaran utama program KPR bank-bank di Indonesia karena target marketnya adalah orang muda kelas menengah (young middle income population). Selain jumlahnya akan terus meningkat, kelompok ini pada dasarnya tidak terlalu sensitif (bersifat inelastis) terhadap perubahan harga, sehingga margin keuntungan dari segmen ini akan lebih besar.

Dengan margin keuntungan yang lebih besar tentunya menjadi incaran bank-bank lain, sehingga ke depannya peta persaingan akan semakin ketat.  Menjadi tantangan kita semua untuk dapat mencapai pertumbuhan penyaluran kredit yang lebih tinggi, tentu saja dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian sehingga kualitas aset dapat tetap terjaga.

Sebagai penutup, tujuan ralaksasi kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia adalah mendorong penyaluran Kredit ke Real Estat dan KPR. Ketika sudah hampir 2 tahun diterapkan dan hasilnya tidak seperti yang diperkirakan sebelumnya, maka opsi untuk relaksasi tambahan tetap terbuka untuk diterapkan. 


Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN


Sumber Gambar : https://ekbis.sindonews.com

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua