Bisnis.com, JAKARTA — Tren properti berbasis syariah sejak beberapa tahun belakang mulai menjamur lantaran menawarkan konsep yang berbeda seperti konvensional. Namun, bagaimana nasib bisnis tanpa riba ini di tengah wabah corona?
Wasekjen DPP Persatuan Perusaahaan Realestat Indonesia (REI) Bidang Properti Syariah Royzani Sjachril mengatakan bahwa perumahan syariah saat ini tidak mengalami gejolak terlalu hebat.
Menurutnya, risiko kredit macet atau non-performing loan (NPL) yang dialami nasabah masih dapat ditekan.
"Alhamdulillah teman-teman masih bagus, tidak tinggi NPL-nya karena nasabahnya sudah fix angsurannya dan memahami kredit itu wajib dibayar dalam Islam," katanya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Dia juga mengatakan bahwa bisnis properti syariah bagi pengembang tidak terlalu berisiko tinggi. Dalam modal kerja, katanya, pengembang juga masih terjaga lantaran tidak ada angsuran bulanan.
Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Properti Syariah Indonesia (Apsi) Muhamad Abubakar mengaku bahwa semua jenis bisnis memiliki tingkat risiko masing-masing.
Berkaitan dengan corona, dia menyadari bahwa pengembang properti syariah tak terlepas dari dampak tersebut. Mereka terus melihat dan menunggu perkembangan dampak ini lebih jauh. "Namun, [masalah] dengan konsumen tidak ada."
Dia mengatakan bahwa risiko bisnis properti syariah juga masih terbilang kecil dibandingkan dengan yang lain, bahkan bisnis ini dapat dibilang keluar dari kaidah high risk high return maupun low risk low return.
"Bisnis properti syariah itu malah low risk high return," ujarnya.
Abubakar mengemukakan bahwa risiko bisnis juga sebetulnya sudah dipahami oleh tiap pengembang dengan penerapan mitigasi masing-masing. Bahkan, ada pemain di bisnis ini yang konsumennya langsung membayar pada pihak pengembang (in house) tanpa pihak ketiga seperti bank dan bisnisnya tetap lancar sampai saat ini.
"Kuncinya ada di verifikasi konsumen dengan baik," katanya.
Sumber : ekonomi.bisnis.com