Bisnis.com, JAKARTA— Kalangan pengembang menanti komitmen pemerintah daerah untuk memangkas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau BPHTB untuk instrumen dana investasi real estat atau DIRE demi efektivitasnya instrumen tersebut di dalam negeri.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan, kalangan pengembang sangat menyambut baik terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 40/2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif (KIK) Tertentu.
Beleid tersebut telah menetapkan tarif pajak penghasilan atas instrumen investasi DIRE menjadi 0,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan real estat.
Eddy menyayangkan dalam beleid tersebut belum disinggung tentang pemangkasan BPHTB untuk DIRE. Padahal, pemangkasan DIRE menjadi hal krusial guna memastikan penerbitan investasi DIRE di dalam negeri lebih menarik dibandingkan luar negeri.
“Kita sedikit sayangkan dalam PP tersebut tidak menyebutkan BPHTB yang kita harapkan bisa 1%. BPHTB yang umum di mana pemerintah pusat sudah menghimbau pada pemerintah daerah agar bisa diturunkan ke 2,5% juga belum diturunkan oleh pemda,” katanya kepada Bisnis, dikutip Jumat (4/11/2016).
Eddy memaklumi BPHTB merupakan rawan kewenangan pemerintah daerah sehingga memang membutuhkan lebih banyak waktu untuk meyakinkan sejumlah pemerintah daerah untuk menurunkan tarif BPHTB-nya.
Meski begitu, REI berharap koordinasi pusat dan daerah dapat berjalan lancar agar penerbitan instrumen investasi DIRE dapat terealisasi dengan segera oleh para pengembang.
Selama ini, tuturnya, sudah ada sejumlah anggota REI yang berminat terbitkan DIRE menyusul wacana pemangkasan pajak DIRE ini. Namun, semua masih menunggu realisasi wacana pemangkasan pajak ini.
“Pemerintah pusat sudah menghimbau. Kita akan terus kawal ke daerah supaya dia turun ke 1%,” katanya.
Sejauh ini, pemda yang menunjukkan komitmen cukup serius terhadap pemangkasan BPHTB barulan Pemda DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta telah menetapkan pembebasan BPHTB untuk properti di bawah Rp2 miliar. Dirinya berharap, langkah DKI Jakarta ini akan diikuti oleh daerah lainnya.
Senior Associate Director Investment Services PT Colliers International Indonesia Aldi Garibaldi mengatakan, saat ini sudah mulai ada pergerakan dari sejumlah perusahaan untuk mengumpulkan aset propertinya guna dilepas ke dalam instrumen DIRE.
Meski begitu, di tengah momentum pemulihan ekonomi saat ini yang masih relatif lambat, instrumen DIRE tampaknya masih sulit untuk bisa berkembang, selain karena BPHTB yang masih tinggi.
Harapan pasar terhadap imbal hasil investasi masih sangat tinggi, sementara potensi pendapatan berulang dari properti yang menjadi aset DIRE belum dapat mengimbanginya.
Saat ini, pasar perkantoran sewa terutama di Jakarta masih relatif tertekan akibat kelebihan pasokan. Tingkat penyerapan masih bergerak lambat, sementara pertumbuhan pasokan sangat pesat.
Riset Colliers menunjukkan, tingkat okupansi kantor Jakarta telah melemah rata-rata sekitar 10% sejak 2014 lalu. Harga sewa pun terus tertekan akibat posisi tawar penyewa yang lebih kuat. Di kuartal ketiga lalu, harga sewa turun 4,8% secara kuartalan, yang mana kelas-kelas premium tertekan lebih dalam.
Hal yang sama juga terhadi dengan hotel dan pusat perbelanjaan. Riset Colliers menemukan belum ada pertumbuhan permintaan dan harga sewa yang menggembirakan dari sektor ritel. Okupansi harian hotel pun masih kurang dari 60%.
Kondisi ini membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mencapai kinerja yang sehat dan mendulang recurring income yang tinggi. Pasar berharap imbal hasil dari DIRE menimal sekitar 8%-9% per tahun, sementara properti saat ini belum memberikan imbal hasil setinggi itu.
“Orang akan bilang, saya taruh uang deposito di bank saja dapat 6%, kenapa saya harus beli realetat dengan bunga 6% atau bahkan di bawahnya? Saya maunya 6% plus 200 sampai 300 bps, sehingga jadinya 8% sampai 9%,” katanya.
Menurutnya, prospek instrumen investasi DIRE di masa mendatang mungkin saja akan baik, tetapi secara jangka pendek akan ada ketidaknyamanan tertentu di pasar karena transaksi jual beli properti menjadi kolateral.
Bila sebelumnya investor properti menghitung potensi keuntungan dari peningkatan harga jual, kini mereka harus mengukurnya dari segi persentase keterisian dan peningkatan harga sewa.
“Harapan pasar terhadap return kan masih tinggi, ini yang menjadikan DIRE sulit berkembang. Harus ada willingness dari para pemilik properti untuk telan dulu bahwa harganya memang cuma segini, belum tinggi. Kecuali kita naikkan rentalnya. Itu masih jauh saya kira,” katanya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku akan melakukan koordinasi lanjutan dengan pemerintah daerah terkait penurunan tarif BPHTB untuk DIRE menjadi 1%. Hingga kini, belum ada titik temu antara pemerintah pusat dan daerah, meskipun Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu sudah mengundang sejumlah kepala daerah untuk membicarakan hal itu.
Oleh karena BPHTB adalah kewenangan pemda, tuturnya, pemerintah untuk sementara baru menerbitkan peraturan yang mengatur tentang pemangkasan PPh DIRE. Darwin mengatakan, pemerintah pun belum tentu akan menerbitkan kebijakan pemangkasan DIRE ini melalui instrumen hukum peraturan pemerintah (PP).
“BPHTB-nya masih belum. Itu masih perlu waktu. Mesti harus bicarakan kembali,” katanya.
Seperti diketahui, dalam paket kebijakan ekonomi jilid XI, pemerintah ingin mengembangkan instrumen KIK DIRE dengan pemangkasan PPh final atas penghasilan dalam pengalihan real estat ke dalam KIK DIRE dari 5% menjadi 0,5%. Hal tersebut telah direalisasikan dengan PP 40/2016 tersebut.
Akan tetapi, selain itu pemerintah pusat juga menjanjikan penerbitan PP mengenai insentif dan kemudahan investasi di daerah yang antara lain mengatur penurunan tarif BPHTB dari maksimum 5% menjadi 1%. Ada pula penerbitan peraturan daerah bagi daerah yang berminat mendukung pelaksanaan DIRE.
Sumber : properti.bisnis.com