Spinner Icon

INFLASI - HARGA MAKANAN MENAHAN KENAIKAN HARGA BARANG LAIN

Author Image
Admin BTN Properti
Makro Update · 5 Oktober 2017
Seiring dengan perkiraan bahwa harga-harga akan kembali meningkat dua bulan setelah Lebaran, inflasi kembali meningkat sebesar 0,13% mom di bulan September 2017 setelah terjadi deflasi sebesar -0,07% mom di bulan Agustus 2017. Seperti tampak pada grafik 1, semua sektor mengalami kenaikan harga kecuali sektor Bahan Makanan yang masih mengalami penurunan harga sebesar 0,53% mom.


Grafik 1. Inflasi Bulanan September 2016 dan 2017 Berdasarkan Kelompok (% mom)




Sumber: BPS


Pada dasarnya pola inflasi bulanan September 2017 sama dengan September 2016, dengan perbedaan magnitude pada sektor Bahan Makanan, Sandang, dan Pendidikan. Harga beras dan cabai merah sebenarnya sudah meningkat, namun masih turunnya harga bumbu-bumbuan mendorong ke bawah harga-harga sektor Makanan sehingga mengalami deflasi yang lebih besar daripada bulan September 2016.


Kenaikan harga di sektor Sandang terutama didorong oleh naiknya harga emas perhiasan. Sementara pengeluaran rumah tangga untuk biaya sekolah dari tingkat SD sampai dengan Kuliah menjadi pendorong utama kenaikan harga di sektor Pendidikan


Grafik 2. Kontribusi Penyumbang Inflasi Bulan September 2017



 
Sumber: BPS


Jika dilihat dari jenis inflasi, terlihat bahwa Inflasi Volatile (yang dipengaruhi harga makanan) yang menahan kenaikan Inflasi Inti dan Inflasi Administered sehingga Inflasi Umum hanya meningkat sebesar 0,13% mom di September 2017. Akibatnya Inflasi Umum September 2017 lebih rendah dari bulan yang sama tahun 2016 sebesar 0,22% mom (grafik 3).


Grafik 3. Tingkat Inflasi September 2015-2017 (% mom)



 
Sumber: BPS


Dengan inflasi bulanan sebesar itu, maka inflasi tahunan kembali terdorong turun menjadi 3,72% yoy (grafik 4). Ini merupakan penurunan lanjutan dari inflasi tahunan setelah mencapai titik tertingginya sepanjang tahun 2017 sebesar 4,37% yoy di bulan Juni 2017 akibat kenaikan harga sepanjang hari raya keagamaan.


Grafik 4. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Tahunan



 
Sumber: BPS


Inflasi Inti relatif stabil pada level terendahnya sejak Desember 2015 dan bertahan pada level 3,00% yoy pada bulan September 2017. Dapat dikatakan bahwa daya beli masyarakat (real demand) baru sedikit rebound setelah mencapai level terendahnya di 2,98% yoy pada bulan Agustus 2017.


Grafik 5 sedikit banyak mengkorfirmasi dikuranginya konsumsi masyarakat untuk keperluan yang tidak dianggap terlalu penting di tengah turunnya pendapatan riil mereka. Setelah bertahan di kisaran 5,0% yoy sepanjang tahun 2015, kenaikan harga sub sektor Peralatan Rumah Tangga terus mengalami penurunan sampai ke level 1,8% yoy di bulan September 2017.  Hal yang sama juga terjadi pada sub sektor Rekreasi yang mengalami penurunan harga dari 4,0% yoy di awal 2015 dan turun menjadi 0,4% yoy di akhir 2016. 


Namun memasuki tahun 2017, kenaikan harganya rebound dan terus meningkat menjadi 1,4% yoy di bulan September 2017. Dapat dikatakan bahwa di tengah turunnya pendapatan riilnya, masyarakat mempertahankan konsumsi Bahan Makanan dan Rekreasi, dengan mengurangi pengeluaran yang tidak terlalu penting seperti Peralatan Rumah Tangga.


Grafik 5. Inflasi Tahunan Sub Sektor Rekreasi dan Peralatan Rumah Tangga



 
Sumber: BPS


Grafik 6. Inflasi Inti dan Suku Bunga Acuan BI



 
Sumber: Bank Indonesia & BPS


Grafik 7. Pergerakan Rupiah dan Indeks US Dollar



 
Sumber: Bloomberg


Grafik 6 menunjukkan perkembangan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan nilai riilnya berdasarkan Inflasi Inti. Perlu diketahui bahwa kebijakan suku bunga BI diambil berdasarkan Infasi Inti, bukan Inflasi Umum. Terlihat bahwa suku bunga acuan BI riil justru naik menjadi 3,63% di bulan Januari 2016 ketika BI menurunkan suku bunga acuannya menjadi 7,25%. Namun se telah itu suku bunga acuan BI riil terus mengalami penurunan seiring dengan turunnya Inflasi Inti dan akhirnya mencapai level 1,25%, yang merupakan level terendahnya sejak November 2012.


Dengan suku bunga acuan riil yang semakin menipis tentunya semakin sempit ruang bagi BI untuk dapat terus menurunkan suku bunga acuannya. Apalagi bisa melihat kondisi ekonomi global yang kembali bergejolak sebagai akibat ekspektasi membaiknya ekonomi Amerika Serikat (AS). Gejolak tersebut dapat dilihat dari pergerakan Rupiah yang pada Grafik 7 disandingkan dengan pergerakan Indeks US Dollar. 


Terlihat bahwa pergerakan Rupiah seiring dengan Indeks USD dari awal tahun 2015 sampai dengan akhir tahun 2016. Memasuki tahun 2017, ketika Indeks USD mengalami pelemahan yang seharusnya diikuti dengan penguatan Rupiah, ternyata Rupiah bergerak stabil pada level Rp13.332 per USD untuk periode Januari-September.


Rupiah sempat menguat ke Rp13.156 per USD pada minggu pertama September 2017, namun kemudian melemah seiring dengan menguatnya US Dollar. Di akhir bulan September 2017, US Dollar mendapatkan momentum penguatan dari hasil pertemuan the Fed yang menegaskan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya pada bulan Desember 2017 dan pengumuman Tax Plan dari President Donald Trump.  Akibatnya Rupiah melemah dah menembus level Rp13.500 per USD. Tren penguatan US Dollar tampaknya akan terus berlanjut seiring dengan semakin tingginya ekspektasi perbaikan ekonomi AS.


Karena itulah maka kami melihat bahwa faktor global akan kembali menjadi pertimbangan BI dalam mengambil kebijakan moneter, khususnya kebijakan suku bunga, dalam bulan-bulan mendatang. Sehingga kami perkirakan bahwa suku bunga acuan BI sudah mencapai level terendah pada 4,25% untuk kemudian dipertahankan pada level ini sampai dengan semester 1 tahun 2018. Upaya mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi nasional dapat dilakukan BI melalui kebijakan non suku bunga seperti kebijakan LTV spasial yang dalam waktu dekat akan diumumkan.


Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua