Spinner Icon

INFLASI JANUARI 2017 - ADMINISTERED PRICES MENDORONG INFLASI JANUARI 2017

Author Image
Makro Update · 7 Februari 2017

INFLASI

 

ADMINISTERED PRICES MENDORONG INFLASI JANUARI 2017

 

Pemerintah mengawali tahun 2017 dengan menaikkan beberapa harga dan tarif seperti biaya perpanjangan STNK, tarif listrik untuk golongan 900VA, dan harga BBM non subsidi. Dampaknya terlihat pada naiknya komponen inflasi Administered Prices seperti terlihat pada Grafik 1 yang menunjukkan perkembangan Inflasi Umum, Inflasi Inti, Inflasi Administered dan Inflasi Volatile pada bulan Januari 2015, 2016, dan 2017. 

Perlu diperjelas bahwa Inflasi Umum adalah kenaikan harga-harga seluruh komponen inflasi, Inflasi Administered adalah kenaikan harga-harga yang diatur oleh pemerintah seperti tarif listrik dan harga BBM, Inflasi Volatile adalah kenaikan harga-harga yang bergejolak yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor musiman seperti harga makanan, sementara Inflasi Inti adalah kenaikan harga di luar harga yang dipengaruhi oleh pemerintah dan di luar yang bergejolak. Inflasi Inti merupakan inflasi yang lebih stabil sehingga dipakai sebagai acuan bagi kebijakan moneter Bank Indonesia.

Inflasi Umum pada bulan Januari 2017 mencapai 0,97% mom, yang merupakan inflasi bulan Januari yang tertinggi sejak tahun 2015. Terlihat bahwa faktor pendorong inflasi di bulan Januari 2017 adalah harga-harga yang ditentukan oleh pemerintah sebesar 2,57% mom, berbeda dengan yang terjadi pada bulan Januari 2016 dimana pendorong utamanya adalah Inflasi Volatile (2,40% mom) yang salah satu sumbernya adalah naiknya harga-harga makanan.

 

Grafik 1 Tingkat Inflasi Januari 2015-2017 (% mom)


Sumber: BPS

 

Dilihat dari 7 Kelompok Pengeluaran, maka tampak bahwa kenaikan biaya administrasi pengurusan STNK dan harga BBM non subsidi membuat inflasi kelompok Transpor mengalami peningkatan yang terbesar yaitu sebesar 2,35% mom (Grafik 2). Berbeda dengan kondisi pada Januari 2016 dimana inflasi kelompok ini mengalami deflasi atau inflasi yang negatif yang terjadi karena turunnya harga-harga di kelompok ini setelah mengalami kenaikan di bulan Desember 2015 terkait dengan liburan Natal dan akhir tahun.

Sementara kenaikan tarif listrik untuk pelanggan rumah tangga daya 900VA mendorong kenaikan inflasi kelompok Perumahan sebesar 1,09% mom (dibandingkan 0,53% mom di Januari 2016). Tekanan inflasi pada kelompok Perumahan masih akan berlanjut karena pemerintah berencana secara berkala untuk menyesuaikan tarif listrik non subsidi paling tidak sebanyak dua kali lagi di tahun 2017.

 

Grafik 2. Inflasi Bulanan Januari 2016 dan 2017 (% mom)


Sumber: BPS

 

Kelompok makanan yang biasanya mengalami inflasi pada awal tahun terkait banjir di sentra-sentra pertanian yang mempengaruhi distribusi pangan, tampaknya cukup terjaga stabil pada level 0,47% mom (dibanding 0,51% mom di Januari 2016). Sumbangan inflasi terbesar untuk kelompok ini adalah naiknya harga cabai rawit yang mencapai di atas Rp100 ribu per kg di bulan Januari 2017. Cabai rawit memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,10% terhadap Inflasi Umum. Yang perlu diwaspadai adalah kenaikan harga-harga makanan di kuartal 1 sebelum memasuki masa panen di kuartal 2 setiap tahunnya.

Bila dilihat dari perubahan harga secara tahunan atau year-on-year, maka Inflasi Umum pada bulan Januari 2017 mencapai 3,49% yoy, yang merupakan inflasi bulan Januari terendah sejak tahun 2001 (Grafik 3). Semua ini terjadi akibat harga minyak dunia yang relatif rendah, relatif minimnya kenaikan Administered Prices, dan relatif stabilnya harga makanan sepanjang tahun 2016.

 

Grafik 3. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Tahunan


Sumber: BPS

 

Memasuki tahun 2017 tampaknya kondisi tersebut akan berubah karena ada potensi kenaikan harga minyak dunia seiring dengan pengurangan pasokan oleh anggota OPEC dan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM non subsidi dan tarif listrik secara berkala sepanjang tahun ini. Inflasi Umum tahun 2017 akan lebih tinggi dari tahun 2016, dimana kami perkirakan akan berada pada kisaran 4,0-4,4% di akhir tahun ini.

Mengingat kondisi ini, maka kebijakan moneter Bank Indonesia yang akomodatif tidak lagi akan terfokus hanya pada suku bunga acuan (BI 7days reverse repo rate), karena ruang untuk penurunannya sudah tidak ada lagi. Kemungkinan yang akan dilakukan Bank Indonesia adalah mempertahankan suku bunga acuan pada level 4,75% sepanjang paruh pertama tahun ini dan berpotensi untuk menaikkannya di paruh kedua 2017. Kebijakan moneter yang akomodatif masih dapat dilakukan melalui perubahan GWM menjadi GWM averaging di pertengahan tahun dan juga kebijakan makroprudensial lanjutan.

Ditambah dengan prediksi bahwa Bank Sentral AS (the Fed) akan menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali sepanjang tahun 2017, maka upaya penurunan suku bunga di dalam negeri tampaknya akan semakin berat. Menghadapi hal ini sebaiknya perbankan dalam negeri tetap fokus pada upaya menjaga likuiditas dan kualitas aset.

 

Grafik 4. Perkembangan Inflasi dan Policy Rate

 

Catatan: Policy rate sebelum Agustus 2016 menggunakan BI Rate, setelah Agustus 2016 menggunakan BI 7days Reverse Repo Rate

Sumber: BPS





Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua