KOMPAS.com - Permintaan properti yang terus meningkat setiap tahunnya membuat para pengembang harus inovatif, dan memenuhi permintaan tersebut dengan berbagai kreativitas.
Salah satu inovasi dan kreativitas yang dibutuhkan adalah mengintegrasikan semua jenis, dan fungsi properti ke dalam satu kawasan pengembangan yakni mixed use development.
Di Indonesia, konsep ini sejatinya sudah lama diterapkan, sekitar awal tahun 2000-an saat bisnis properti mengalami booming.
Padahal, konsep mixed use ini baru diperkenalkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, pada medio 1920-an.
Pada dasarnya, mixed use development adalah sebuah kawasan terintegrasi yang terdiri dari tempat tinggal, kantor, pusat perbelanjaan, dan fungsi urban lainnya.
Beberapa kawasan mixed-use yang terkenal di Indonesia adalah Plaza Indonesia (Jakarta Pusat), Gandaria City (Jakarta Selatan), Central Park (Jakarta Barat), District 8 Senopati (Jakarta Selatan), dan Ciputra World (Jakarta Selatan).
Seperti kawasan-kawasan tempat tinggal lainnya, kawasan mixed-use juga mempunyai beberapa karakteristik yang membedakannya dengan kawasan tempat tinggal lainnya.
1. Diminati Karena Integrasi Kawasan
Penggabungan tiga atau bahkan lebih dari fungsi urban dalam kawasan mixed-use, membuatnya diminati oleh berbagai kalangan.
Mulai dari calon pembeli yang ingin tinggal di sana, sampai pengunjung-pengunjung tidak tetap yang tertarik dengan pusat perbelanjaan, hotel, atau fungsi-fungsi lain dari kawasan mixed-use yang ditawarkan.
Kehadiran kawasan mixed-use juga bisa meningkatkan gengsi dan minat orang-orang untuk bisa tinggal di dalam maupun kawasan sekitarnya.
Kondisi ini otomatis mengerek harga jual properti di kawasan mixed-use dan di daerah-daerah sekitarnya yang masih dalam jangkauan.
Minat yang tinggi ini karena gaya hidup praktis yang ditawarkan. Dengan bisa tinggal di sana, bekerja, melakukan rekreasi, atau bahkan mengenyam pendidikan dalam satu kawasan yang sama, waktu yang terbuang untuk proses komuter dan ongkos transportasi bisa terpangkas signifikan.
2. Menjadi Pelopor Pengembangan Kawasan
Meski banyak dikembangkan di pusat kota atau central business district (CBD), ada juga kawasan mixed-use yang justru menjadi pelopor untuk sebuah daerah menjadi pertumbuhan bisnis baru di area non CBD.
Kehadiran kawasan mixed use di area non-CBD ini mendorong pertumbuhan akses transportasi.
3. Membuka Lapangan Kerja Baru
Di luar kalangan profesional yang bekerja di gedung-gedung perkantoran dalam kawasan mixed-use, kehadirannya juga memutar roda ekonomi menjadi lebih kencang.
Kebutuhan untuk karyawan, keamanan, dan staf di berbagai gedung, pusat perbelanjaan, sekolah, supermarket, dan bagian-bagian lain dari kawasan mixed-use membuat warga sekitar memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan.
Tak hanya itu, peluang besar juga bisa dirasakan oleh penyedia jasa desain interior rumah minimalis untuk mendesain hunian-hunian yang ada di kawasan ini.
Belum lagi dengan adanya perkantoran, tempat tinggal, dan pusat perbelanjaan, akan muncul bisnis-bisnis yang berusaha memenuhi kebutuhan warga yang tinggal atau bekerja di kawasan mixed-use.
Mulai dari warung makan, tempat jasa fotokopi, minimarket, restoran, kafe, dan bisnis-bisnis pendukung lainnya.
4. Menimbulkan kemacetan
Walaupun dianggap menjadi solusi sebagai realisasi dari konsep one-stop living, kehadiran kawasan mixed-use bukan tidak membawa masalah-masalah lain.
Masalah yang paling umum adalah kepadatan lalu lintas di sekitar kawasan mixed-use. Hal ini tecermin dari jumlah kendaraan dari dan menuju kawasan mixed use akan melonjak dan menyebabkan macet.
Bagaimana pun juga, keputusan untuk tinggal di kawasan mixed-use kembali lagi pada kebutuhan dari Anda dan keluarga.
Bila Anda menginginkan akses yang mudah dengan tidak harus meninggalkan satu kawasan untuk bisa memenuhi berbagai kebutuhan dan berekreasi, mixed-use adalah kawasan tempat tinggal yang tepat untuk Anda.
Sumber : properti.kompas.com