Spinner Icon

Outlook Ekonomi 2017 - EKONOMI INDONESIA MEMASUKI FASE PEMULIHAN

Author Image
Makro Update · 13 Januari 2017
Ekonomi Global – Masih dibayang-bayangi ketidakpastian


Sampai dengan kuartal terakhir tahun 2016, ekonomi global masih dibayang-bayangi oleh ketidakpastian, dimana di satu sisi ekonomi AS sudah menunjukkan perbaikan kondisi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, tingkat pengangguran yang stabil dan kenaikan inflasi. Namun di sisi lain, pertumbuhan ekonomi negara-negara Eropa masih terbatas dan saat ini muncul resiko politik menyusul keluarnya Inggris dari European(Brexit). Fenomena Brexit menunjukkan kemenangan partai yang mengusung kebijakan populis dan Anti Kemapanan yang kemudian diikuti oleh Perancis dan Italia pada akhir 2016 dan kemungkinan Jerman dan Belanda pada tahun 2017 ini. Sementara ekonomi Jepang masih tertekan dengan dibayangi ketidakberhasilan Abenomics. Namun, dari sisi lain dari dunia, India dan China (dan juga Indonesia) dapat menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan diperkirakan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi global.


Ketika pasar global masih menunggu hasil pertemuan Fed di bulan Desember, dunia dikejutkan dengan kemenangan Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat pada bulan November 2016. Selama kampanyenya, Donald Trump menempatkan dirinya sebagai calon yang populis radikal dengan beberapa rencana kontroversial seperti "America First" yang akan memprioritaskan kepentingan AS dan mengurangi dukungan anggaran untuk NATO, Jepang, dan Korea (mereka diwajibkan untuk membiayai mereka pertahanan sendiri). Selain itu, untuk mencegah imigran gelap Trump mengusulkan untuk membangun dinding di perbatasan Meksiko dan akan bertindak lebih keras terhadap imigran ilegal dan teroris.


Sementara di bidang ekonomi, Trump akan menjalankan kebijakan fiskal yang ekspansif, karena di satu sisi akan memotong pajak, tetapi di sisi lain akan meningkatkan anggaran militer dan infrastruktur yang akan dibiayai oleh tambahan utang. Dia juga akan memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan AS yang membawa industri kembali ke AS (seperti Apple dan Ford). Dan terkait dengan kebijakan moneter, ia mengatakan ia akan mengganti Ketua the Fed Janet Yellen dan anggota the Fed lainnya dengan yang lebih monetarist hawk dan juga akan mencabut Reformasi Hukum Keuangan Dodd-Frank 2010. 


Namun, sebenarnya masih ada kemungkinan Trump akan bersifat pragmatis karena pada dasarnya Trump adalah seorang pengusaha yang pragmatis demi bisnis. Taktik populis hanya untuk keperluan pemilu dan setelah menang dia akan tetap berdiri di antara politisi yang pro-bisnis, pro-Wall Street, dan pro-globalisasi. Dan seperti presiden sebelumnya yang tidak memiliki pengalaman politik seperti Ronald Reagan dan George W. Bush, Trump akan sangat tergantung pada penasihatnya. Selain itu, kontrol Partai Republik atas Kongres dan Senat akan memberikan keuntungan bagi Trump. Jadi pada intinya, setelah terpilih bisa saja ia akan lebih memilih kebijakan yang lebih pro-pasar, bukan hanya populis.


Tampaknya ekonomi global akan menghadapi keseimbangan baru dimana pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan meningkat lebih tinggi dari negara maju (lihat grafik 2). Namun upaya negara berkembang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi melalui ekspor akan terhambat karena negara-negara maju akan lebih proteksionis, yang mengakibatkan melambatnya pertumbuhan perdagangan dunia (perdagangan dunia saat ini tumbuh sebesar 2,3%, terendah sejak 2009). Jadi, dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, negara-negara berkembang harus dapat bergantung pada sumber-sumber domestik seperti konsumsi dan investasi.


Grafik 2. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia



Sumber: Bank Indonesia


Ekonomi Domestik – Memperkuat ekonomi domestik untuk menghadapi dampak kemenangan Donald Trump


Efek dari perubahan ekonomi global sudah memiliki dampak pada perekonomian Indonesia melalui dua jalur, yaitu (1) Perdagangan, di mana masih lemahnya ekonomi dunia membuat rendahnya permintaan akan ekspor Indonesia, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara dari PPN dan PPnBM juga rendah, di tengah Permintaan Domestik yang belum Solid. Untuk memperkuat dan membuat APBN yang lebih kredibel, pemerintah menjalankan program Amnesti Pajak yang dalam jangka pendek akan menambah penerimaan negara dan dalam jangka menengah dan panjang akan meningkatkan basis pajak. Sementara belum solidnya Permintaan Domestik mendorong kenaikan kredit bermasalah di sektor perbankan yang pada akhirnya mendorong perlambatan pertumbuhan kredit perbankan. (2) Inflasi, dimana pelemahan ekonomi global mendorong terjadinya global disinflation atau inflasi global yang rendah dan terus cenderung turun. Hal ini juga mendorong inflasi Indonesia ke level yang rendah yang memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menerapkan Kebijakan Moneter yang akomodatif dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate sebelum tanggal 19 Agustus 2016 atau 7days reverse repo rate setelah tanggal 19 Agustus 2016). Penurunan suku bunga acuan ini pada akhirnya berhasil menurunkan suku bunga deposito dan kredit


Grafik 3. Inflasi terjaga rendah karena dipengaruhi rendahnya inflasi global


Efek dari perubahan ekonomi global sudah memiliki dampak pada perekonomian Indonesia melalui dua jalur, yaitu (1) Perdagangan, di mana masih lemahnya ekonomi dunia membuat rendahnya permintaan akan ekspor Indonesia, yang pada akhirnya membuat penerimaan negara dari PPN dan PPnBM juga rendah, di tengah Permintaan Domestik yang belum Solid. Untuk memperkuat dan membuat APBN yang lebih kredibel, pemerintah menjalankan program Amnesti Pajak yang dalam jangka pendek akan menambah penerimaan negara dan dalam jangka menengah dan panjang akan meningkatkan basis pajak. Sementara belum solidnya Permintaan Domestik mendorong kenaikan kredit bermasalah di sektor perbankan yang pada akhirnya mendorong perlambatan pertumbuhan kredit perbankan. (2) Inflasi, dimana pelemahan ekonomi global mendorong terjadinya global disinflation atau inflasi global yang rendah dan terus cenderung turun. Hal ini juga mendorong inflasi Indonesia ke level yang rendah yang memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menerapkan Kebijakan Moneter yang akomodatif dengan menurunkan suku bunga acuan (BI rate sebelum tanggal 19 Agustus 2016 atau 7days reverse repo rate setelah tanggal 19 Agustus 2016). Penurunan suku bunga acuan ini pada akhirnya berhasil menurunkan suku bunga deposito dan kredit


Grafik 3. Inflasi terjaga rendah karena dipengaruhi rendahnya inflasi global



Sumber: Badan Pusat Statistik


Dari Grafik 3 tampak bahwa inflasi tahun 2016 terjaga rendah pada level 3,02%, yang disebabkan oleh rendahnya harga minyak dunia (yang membuat harga BBM dalam negeri dapat dijaga tidak naik), relatif stabilnya rupiah (yang meminimalkan efek dari imported inflation), rendahnya shock harga-harga yang ditentukan pemerintah (seperti tarif listrik), dan manajemen pasokan bahan makanan yang membuat harga Bahan Makanan dapat terjaga stabil (terutama pada bulan Desember 2016). 


Inflasi yang rendah sepanjang tahun 2016 memberikan ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter di mana yang sejak awal 2016 BI telah menurunkan suku bunga acuan (BI Rate atau 7days Reverse Repo Rate) dan juga Giro Wajib Minimum sebesar masing-masing 150bps. Kebijakan moneter yang akomodatif ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia


Grafik 4. Bauran Kebijakan Bank Indonesia 2015-2016


Sumber: Bank Indonesia


Memasuki tahun 2017, kami melihat bahwa tekanan terhadap inflasi akan muncul dari luar negeri seperti kenaikan harga minyak dunia sebagai akibat dikuranginya pasokan minyak dunia oleh anggota OPEC dan ketidakpastian ekonomi global (kebijakan ekspansif dari presiden terpilih AS, ketidakpastian ekonomi Eropa) yang akan mendorong penguatan dollar AS. Kedua faktor ini akan mendorong imported inflation. Dan juga sumber dari dalam negeri yang terutama bersumber pada kebijakan pemerintah yang akan menaikkan tarif listrik dalam rangka mengurangi subsidi listrik dan harga BBM dalam negeri.


Dengan berbagai sumber kenaikan harga-harga tersebut, maka kami melihat bahwa inflasi pada akhir tahun 2017 akan kembali terdorong ke kisaran 4% yoy. Ini berarti ruang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI 7days reverse repo rate) sudah tidak ada dan bahkan ada potensi mengalami kenaikan di paruh kedua tahun 2017. Namun BI masih dapat melakukan operasi moneter yang akomodatif melalui perubahan GWM (Giro Wajib Minimum) menjadi GWM averaging yang akan diterapkan secara parsial pada pertengahan tahun ini dan juga dengan menggunakan kebijakan makroprudensial.


Berbeda dengan GWM saat ini yang fixed pada level 6,5%, dengan GWM averaging nantinya bank diperbolehkan mempunyai GWM yang berfluktuasi di atas atau di bawah 6,5% sepanjang rata-rata selama 14 hari kerja tetap terjaga di 6,5%. Dengan perubahan ini maka akan memberikan fleksibilitas bagi bank untuk mengatur GWMnya masing-masing. Misalkan ketika bank memerlukan likuiditas, maka bank dapat mengambil likuiditas dari GWM tanpa perlu meminjam di pasar dan juga sebaliknya. BI mengharapkan bank dapat mengatur likuiditasnya masing-masing dengan mengoptimalkan Asset Liability Management nya.


Sejak tahun 2013, perekonomian Indonesia setidaknya sudah melalui 4 fase perubahan yaitu fase Ekspansi pada tahun 2013-2014, fase Penurunan pada tahun 2015, fase Konsolidasi pada tahun 2016, dan diperkirakan akan memasuki fase PEmulihan di ahun 2017 seperti tampak pada grafik 4 di bawah. Ekonomi Indonesia sudah menunjukkan kondisi yang membaik sebagai akibat dari perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dari sisi fiskal dan BI dari sisi moneter. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah melewati titik terendah yaitu 4,66% di kuartal 2 tahun 2015 dan terus menunjukkan kenaikan hingga level 5,02% di kuartal 3 tahun 2016. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 diperkirakan sebesar 5,0% dan terus meningkat ke 5,2% di tahun 2017. PDB per kapita juga melewati titik terendahnya di tahun 2015 dan diperkirakan dapat menembus angka USD4000 per kapita di tahun 2017.


Grafik 4. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah rebound di tahun 2015


Sumber: Badan Pusat Statistik dan prediksi BTN


Untuk menjadikan permintaan domestik sebagai kunci bagi pertumbuhan ekonomi, Indonesia harus mengandalkan sumber domestik yang berasal dari konsumsi swasta yang stabil, peningkatan pengeluaran pemerintah dan peran yang lebih tinggi dari investasi swasta. Namun, karena tabungan domestik terbatas, maka Indonesia harus mampu menarik Foreign Direct Investment (FDI). Sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan 14 paket kebijakan ekonomi yang pada dasarnya untuk mendorong perbaikan iklim investasi.


Upaya Indonesia untuk meningkatkan iklim investasi mendapatkan momentum yang baik ketika UNCTAD dalam laporan terbaru "2016 World Investment Report" menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga tujuan FDI, di bawah India dan China. Peringkat ini lebih baik dari tahun sebelumnya yang diperingkat 5. investasi Indonesia tumbuh 46% pada Januari-Juli 2016 dari US $ 19,4 miliar pada tahun 2015 menjadi US $ 28,0 miliar pada tahun 2016. Angka ini di bawah FDI ke India sebesar US$36,1 miliar dan China sebesar US $ 30,0 miliar. Selain itu, Bank Dunia juga mengumumkan bahwa kemudahan berbisnis di Indonesia naik 16 peringkat dari 106 menjadi peringkat 91, dari 190 negara yang disurvei.


Perlu diingat bahwa perbaikan iklim investasi tidak hanya diperoleh dari jumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana Indonesia dapat meningkatkan produktivitas, terutama produktivitas tenaga kerja, sehingga Indonesia dapat mampu bersaing dalam ekonomi global . Sekarang hanya bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk mengantisipasi meningkatnya ketidakpastian global dalam tahun-tahun mendatang.


Dari sisi moneter, terjadi perubahan pada kebijakan moneter yang didorong oleh perubahan stance kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral AS (the Fed). Sejalan dengan ekspektasi pasar, the Fed menaikkan suku bunga pada tanggal 14 Desember 2016 dan mengisyaratkan kenaikan yang lebih cepat pada 2017 sebagai antisipasi the Fed atas kebijakan ekonomi pemerintahan Trump. Janet Yellen, chair dari the Fed, mengatakan bahwa terpilihnya Donald Trump telah menempatkan the Fed pada ketidakpastian, namun tetap mengatakan bahwa keputusan terakhir yang diambil merupakan cerminan dari keyakinan the Fed pada perbaikan ekonomi AS.


Grafik 5. Pergerakan suku bunga acuan AS dan Indonesia serta inflasi Indonesia


Sumber: Bloomberg


Untuk mengantisipasi kebijakan fiskal Trump yang agresif, the Fed memprediksi akan ada tiga kali kenaikan suku bunga pada 2017 (bukannya dua seperti yang diramalkan pada bulan September 2016). Selanjutnya akan diikuti oleh tiga kali kenaikan masing-masing di tahun 2018 dan 2019 sebelum suku bunga acuan mencapai level "normal" 3,0% pada akhir tahun 2019. Artinya, suku bunga acuan the Fed diperkirakan akan mencapai 1,50% pada tahun 2017, 2,25% pada tahun 2018 dan 3,00% di tahun 2019.


Satu hari setelah pertemuan FOMC, Bank Indonesia mengakhiri pertemuan bulanannya dengan keputusan mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada level 4,75%. BI mengatakan bahwa keputusan ini konsisten dengan upaya untuk mengoptimalkan pemulihan ekonomi domestik dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi, di tengah pasar keuangan global yang tidak menentu. Dengan perkembangan ini kami melihat BI akan dapat mempertahankan suku bunga acuan pada level 4,75% sepanjang paruh pertama tahun 2017, namun tekanan dari faktor domestik dan global akan mendorong peluang kenaikan suku bunga acuan BI pada paruh kedua tahun 2017 menjadi 5,25%.


Meskipun BI sudah menerapkan kebijakan moneter yang akomodatif dengan menurunkan suku bunga acuan dan GWM sebesar masing-masing 150bps sepanjang tahun 2016, ternyata transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit perbankan masih lambat, dimana transmisinya melewati 2 jalur yaitu jalur suku bunga dan jalur kredit:


  • Suku bunga. Suku bunga Deposito sudah turun 131bps selama periode Januari-November 2016. Tetapi pertumbuhan Total Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya 8,4% yoy di bulan November 2016
  • Kredit. Suku bunga Kredit hanya turun sebesar 67bps dalam periode yang sama dan pertumbuhan Total Kredit sebesar 8,5% yoy

Karena terbatasnya kemampuan sector perbankan dalam menyalurkan kredit, maka transmisi melalui Non Bank meningkat karena banyak perusahaan yang mencari dana di luar sektor perbankan, seperti melalui IPO, penerbitan obligasi maupun MTN dan NCD.


Sebenarnya kondisi sektor perbankan di Indonesia masih kuat, yang ditandai dengan CAR dan NIM yang terus meningkat. CAR industri perbankan pada bulan Oktober 2016 mencapai 23,2% sementara NIM mencapai 5,7%. Namun pada saat yang bersamaan perbankan juga menghadapi kredit bermasalah (NPL) yang terus naik (mencapai 3,2% di Oktober 2016), sehingga perbankan masih fokus pada bagaimana menjaga kualitas aset. Akibatnya penyaluran kredit tersendat yang terlukis pada pertumbuhan kredit yang terus turun.


Penurunan pertumbuhan kredit ini sebenarnya disebabkan oleh turunnya penawaran dan permintaan atas kredit. Turunnya penawaran kredit bersumber pada masih lemahnya perekonomian nasional mendorong peningkatan NPL sehingga perbankan menaikkan standar pinjaman, dan sisi lain turunnya pertumbuhan DPK yang menjadi sumber pemberian kredit membuat bank mengurangi penyaluran kredit. Sementara di tengah kondisi ekonomi yang masih lemah dan belum stabil, banyak pengusaha yang belum berencana untuk melakukan ekspansi usaha sehingga permintaan akan kredit menjadi turun


Grafik 6. CAR dan NIM Industri Perbankan


Sumber: OJK



Grafik 7. NPL Industri Perbankan



Sumber: OJK


Grafik 8. Pertumbuhan Kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK), serta LDR



Sumber: OJK


Grafik 9. Pertumbuhan kredit menurut kegunaan


Sumber: OJK


Penurunan pertumbuhan kredit lebih disebabkan karena kredit valas mengalami pertumbuhan negatif (atau mengalami perlambatan), sementara kredit rupiah masih menunjukkan pertumbuhan yang positif dan ada kecenderungan meningkat. Untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit, maka pada akhir bulan Agustus 2016 BI melakukan relaksasi ketentuan LTV/FTV KPR di perbankan konvensional dan syariah.


Pelonggaran LTV/FTV pada Sektor Properti diambil karena sektor ini mempunyai efek pengganda/multiplier yang besar dalam mendorong pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat terlihat dari luasnya industri yang terkait (mencapai 170 industri) dengan sektor properti sehingga perbaikan kebijakan di sektor properti akan mempunyai efek pengganda yang besar. Dengan pelonggaran ini BI mengharapkan akan terjadi kenaikkan pertumbuhan KPR sebesar 3,7ppt selama 12 bulan ke depan.


Grafik 10. NPL Industri Perbankan


Sumber: OJK


Tantangan perekonomian yang akan dihadapi Indonesia di 2017

Memasuki tahun 2017, tantangan yang akan dihadapi perekonomian Indonesia berasal dari dalam negeri dan juga dari global yang sebenarnya sudah dapat diprediksi (dan dihitung dampaknya) dan juga tantangan yang belum diketahui seberapa besar dampaknya terhadap Indonesia:


  1. Sumber tantangan domestik. Sumber tantangan yang sudah diketahui dan dapat diprediksi dampaknya adalah rencana pemerintah untuk menaikkan tarif listrik dan harga BBM non subsidi yang pada akhirnya akan mendorong kenaikkan inflasi administered prices. Sementara tantangan yang belum diketahui dampaknya diantaranya kenaikan harga pangan (inflasi volatile foods) yang sangat tergantung hasil panen, manajemen distribusi pangan dan juga impor pangan, tantangan kedua adalah pelemahan nilai rupiah, diikuti shortfall pajak dan juga kondisi likuiditas domestik.
  2. Sumber tantangan global. Karena berada di luar kontrol pemerintah dan BI maka tantangan global sebenarnya sudah dapat diprediksi namun belum dapat diketahui seberapa besar dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, diantaranya kenaikan suku bunga acuan the Fed yang akan mendorong penguatan US dollar dan juga akan mempengaruhi likuiditas global. Tantangan berikutnya adalah bagaimana kelanjutan BREXIT dan juga pengurangan produksi minyak OPEC yang tentunya akan mendorong naik harga minyak dunia. Jangan dilupakan juga akan muncul resiko geopolitik (terutama di Timur Tengah) dan juga kecenderungan berkembangannya proteksionisme perdagangan oleh negara-negara maju.

Di sinilah maka Indonesia harus dapat memperkuat perekonomian domestik untuk dapat mengurangi dampak ketidakpastian perekonomian global.



Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua