SUKU BUNGA - ERA KEBIJAKAN MONETER NON KONVENSIONAL AKAN BERAKHIR
Ekonomi Global
Untuk pertama kalinya sejak krisis subprime mortgage tahun 2008, pertumbuhan ekonomi global didorong oleh perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang berlangsung secara lebih merata. Perekonomian negara maju pada tahun 2017 tumbuh sebesar 2,3% yoy, yang lebih tinggi daripada pertumbuhannya pada tahun 2016 sebesar 1,7% yoy, yang banyak ditopang oleh ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU). Sementara perekonomian negara berkembang terutama didorong oleh perbaikan ekonomi di Tiongkok, India dan juga Indonesia.
Grafik 1. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan terus meningkat
Sumber: WEO April 2018, IMF
Perbaikan ekonomi global diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang tahun 2018-19 namun dengan sumber pertumbuhan yang kembali bergeser ke negara berkembang. Dari grafik 1 terlihat bahwa IMF memperkirakan bahwa ekonomi global akan tumbuh masing-masing sebesar 3,9% yoy di tahun 2018-19, dimana pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan terus meningkat menjadi 4,9% yoy (2018) dan 5,1% yoy (2019). Sementara pertumbuhan ekonomi negara maju meningkat ke 2,5% yoy di 2018 dan terkoreksi menjadi 2,2% yoy di 2019. Dan diantara negara berkembang, kawasan Asia masih mempunyai pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 6,5% yoy di 2018 dan 6,6% yoy di 2019.
Yang menarik dilihat adalah pertumbuhan ekonomi AS yang meningkat dari 1,5% yoy di 2016 menjadi 2,3% yoy di 2017 yang ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang membaik. Kenaikan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan terus meningkat di 2018-2019 yang dipicu oleh stimulus fiskal melalui kebijakan reformasi perpajakan, terutama dari sisi investasi seiring dengan penurunan pajak korporasi. IMF sendiri melihat perbaikan ini dengan terus merevisi ke atas prediksi pertumbuhan ekonomi AS sejak mengeluarkan World Economi Outlook di Oktober 2017 sampai dengan April 2018 (tabel 1). Tampak bahwa prediksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2018 terus meningkat dari 2,3% yoy (WEO Oktober 2017), menjadi 2,5% yoy (WEO Januari 2018) dan akhirnya 2,9% yoy di WEO April 2018. Hal yang sama juga terjadi untuk prediksi pertumbuhan ekonomi Kawasan Eropa.
Tabel 1. Perubahan prediksi IMF mengenai pertumbuhan ekonomi dunia
Sumber: IMF
Peningkatan pertumbuhan ekonomi global mempunyai dampak positif terhadap volume perdagangan dan harga komoditas dunia. Kedua hal inilah yang telah menguntungkan kinerja ekspor Indonesia yang bisa tumbuh 9,1% yoy di 2017, jauh lebih tinggi daripada pertumbuhannya di 2016 yang hanya sebesar -1,6% yoy. Meskipun masih akan menunjukkan tren yang meningkat, namun kenaikan harga komoditi akan lebih terbatas, sehingga diperkirakan kinerja ekspor Indonesia tahun 2018 tidak akan sebaik tahun 2017.
Namun demikian, sektor keuangan global akan menghadapi tantangan yang menyangkut Vulnerabilities, Uncertainties, Complexities,dan Ambiguities (VUCA) atau dengan kata lain sektor keuangan dunia akan menghadapi resiko yang tinggi, yang bercampur dengan ketidakpastian yang akan menambah rumit, semakin tidak jelas dan tidak pasti, serta membingungkan. Kondisi ini didorong oleh perubahan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang terutama dilakukan oleh AS.
Sumber VUCA yang pertama berasal dari Kebijakan Fiskal pemerintah AS yaitu kebijakan pengurangan pajak dan menguatnya proteksionisme yang dapat berujung pada perang dagang (trade war). Perkembangan perang tarif antara AS dengan Tiongkok semakin memanas setelah pada tanggal 1 Maret 2018 AS mengumumkan penerapan tarif sebesar 25% pada baja impor dan 10% pada aluminium impor.
Meskipun pengenaan tarif ini berlaku untuk semua negara, namun sebenarnya lebih ditujukan pada Tiongkok, karena pada tanggal 22 Maret 2018 AS kembali menerapkan tarif sebesar USD60 miliar atas barang impor dari Tiongkok. Sebagai tindakan balasan, pada tanggal 2 April 2018 Tiongkok mengumumkan pengenaan tarif atas 128 produk impor dari AS senilai USD3 miliar. Perang dagang ini tentunya akan berpotensi mengurangi volume perdagangan dunia yang dapat berujung pada turunnya harga komoditas global.
Sementara sumber VUCA yang kedua berasal dari Kebijakan Moneter dimana kebijakan moneter non-konvesional, yang ditandai dengan likuiditas yang longgar atau murah, sudah atau akan segera berakhir. Merespon tekanan yang muncul akibat perekonomian yang membaik sekaligus untuk memitigasi resiko yang akan dapat muncul dari implementasi kebijakan moneter yang akomodatif dalam periode waktu yang cukup lama, maka bank sentral negara maju (terutama the Fed dan ECB) telah melakukan normalisasi kebijakan moneter. Normalisasi yang dilakukan the Fed adalah dengan menaikkan suku bunga acuan dan juga melakukan penjualan aset yang dimiliki (balance sheet reduction). Sementara untuk Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dilakukan dengan mengurangi intensitas pembelian asetnya.
Bank Sentral AS (the Fed) dan Inggris (Bank of England) sudah melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan peningkatan suku bunga kebijakan (grafik 2 dan 3). Normalisasi kebijakan AS sudah berlangsung sejak akhir tahun 2015 dalam bentuk kenaikan suku bunga kebijakan sebanyak 6 kali dengan total kenaikan 150bps dan juga dengan balance sheet reduction yang dimulai pada bulan Oktober 2017.
Grafik 2. Perubahan dan posisi suku bunga kebijakan moneter negara maju
Sumber: Bloomberg
Grafik 3. Pergerakan suku bunga kebijakan moneter negara maju
Sumber: Bloomberg
Untuk tahun 2018, awalnya the Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga kebijakan sebanyak 3 kali (sudah melakukan 1 kali kenaikan di bulan Maret 2018) sepanjang tahun 2018, yaitu pada bulan Maret, Juni dan Desember. Namun melihat kondisi ekonomi AS yang semakin membaik, seperti semakin kuatnya pertumbuhan ekonomi, terus turunnya tingkat pengangguran dan inflasi inti yang mendekati target jangka panjang sebesar 2%, maka kini diperkirakan the Fed akan lebih agresif dalam melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan 4 kali kenaikan sepanjang 2018.
Data ekonomi AS yang keluar semakin menunjukkan kondisi yang membaik, seperti pertumbuhan ekonomi yang makin solid dan juga inflasi yang terus meningkat akibat naiknya harga minyak dunia. Akibatnya pasar semakin yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga kebijakan lebih dari tiga kali pada tahun 2018. Di luar jadwal pertemuan bulan Juni dan Desember, maka jendela untuk kenaikan lanjutan terbuka di pertemuan bulan Mei, Agustus dan September.
Kami melihat kemungkinan tambahan kenaikan akan terjadi pada periode antara Juni-Desember karena akan ada tiga kali pertemuan (Fed Meeting) yaitu tanggal 1 Agustus, 26 September, dan 8 November 2018. Apalagi dalam perkembangan terahir, yield dari Treasury Bond 10 tahun pada tanggal 24 April 2018 menembus 3%, level tertingginya sejak Januari 2014. Hal ini mendorong spekulasi bahwa langkah normalisasi kebijakan moneter the Fed akan lebih cepat lagi dari perkiraan awal.
Grafik 4. Pergerakan Suku bunga Kebijakan the Fed vs Tinggi Badan Fed Chairman/woman
Meskipun tidak ada hubungannya, namun muncul pula anekdot bahwa pergerakan suku bunga kebijakan the Fed disesuaikan dengan tinggi badan Fed Chairman/woman seperti tampak pada grafik 4 di atas. Memang suku bunga kebijakan the Fed terus turun sejak the Fed dipimpin oleh Paul Volcker di era tahun 1980an sampai Janet Yellen di awal 2018. Chairman the Fed yang baru, Jerome Powell, memang lebih tinggi daripada Janet Yellen, sehingga kemudian dihubungkan dengan kemungkinan kebijakan moneter the Fed yang lebih ketat.
Namun sebenarnya, proses kebijakan moneter the Fed saat ini tidak secepat fase normalisasi yang terjadi pada tahun 1994, 1999 dan 2004. Pada ketiga periode tersebut, normalisasi suku bunga kebijakan dilakukan the Fed sebesar 250-300bps dalam periode 2 tahun. Sementara tampaknya saat ini the Fed lebih mengambil kebijakan normalisasi yang gradual dan lebih perlahan karena selama 2 tahun terakhir kenaikan suku bunga kebijakan the Fed hanya sebesar 150bps. Hal ini dilakukan karena tekanan inflasi dan kenaikan upah saat ini tidak sekuat yang terjadi pada periode sebelumnya tersebut.
Di belahan dunia yang lain, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) belum menaikkan suku bunga kebijakan, namun normalisasi kebijakan moneter sudah dilakukan dengan mengurangi volume pembelian surat hutang (Quantitative Easing) dari EUR80 miliar per bulan menjadi EUR60 miliar per bulan sejak Maret 2017, yang kemudian diturunkan lagi menjadi hanya EUR40 miliar per bulan di Ojktober 2017.
Sementara itu, kebijakan moneter negara berkembang secara umum masih bersifat akomodatif, dimana beberapa negara seperti Brazil, Rusia, Kolombia, Peru dan Indonesia masih melakukan penurunan suku bunga kebijakan karena masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi di tengah rendahnya inflasi. Namun ada pula beberapa negara berkembang yang sudah menaikkan suku bunga kebijakannya seperti Meksiko dan Turki karena meningkatnya tekanan inflasi di kedua negara tersebut akibat depresiasi nilai tukar mereka.
Meningkatnya VUCA tersebut berpotensi mempengaruhi aliran modal asing, termasuk potensi berkurangnya aliran modal masuk ke negara-negara berkembang, dan Indonesia tidak luput dari hal ini. Melemahnya rupiah merupakan salah satu akibat dari keluarnya sebagian dana asing dari Indonesia yang kembali masuk ke AS, terutama dari pasar saham.
Grafik 5. Rupiah melemah akibat penguatan US dollar…