Spinner Icon

SUKU BUNGA - ERA KEBIJAKAN MONETER NON KONVENSIONAL AKAN BERAKHIR

Author Image
Makro Update · 11 Mei 2018
SUKU BUNGA - ERA KEBIJAKAN MONETER NON KONVENSIONAL AKAN BERAKHIR


Ekonomi Global


Untuk pertama kalinya sejak krisis subprime mortgage tahun 2008, pertumbuhan ekonomi global didorong oleh perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang berlangsung secara lebih merata. Perekonomian negara maju pada tahun 2017 tumbuh sebesar 2,3% yoy, yang lebih tinggi daripada pertumbuhannya pada tahun 2016 sebesar 1,7% yoy, yang banyak ditopang oleh ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (EU). Sementara perekonomian negara berkembang terutama didorong oleh perbaikan ekonomi di Tiongkok, India dan juga Indonesia.


Grafik 1. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan terus meningkat



Sumber: WEO April 2018, IMF


Perbaikan ekonomi global diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang tahun 2018-19 namun dengan sumber pertumbuhan yang kembali bergeser ke negara berkembang. Dari grafik 1 terlihat bahwa IMF memperkirakan bahwa ekonomi global akan tumbuh masing-masing sebesar 3,9% yoy di tahun 2018-19, dimana pertumbuhan ekonomi negara berkembang akan terus meningkat menjadi 4,9% yoy (2018) dan 5,1% yoy (2019). Sementara pertumbuhan ekonomi negara maju meningkat ke 2,5% yoy di 2018 dan terkoreksi menjadi 2,2% yoy di 2019. Dan diantara negara berkembang, kawasan Asia masih mempunyai pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 6,5% yoy di 2018 dan 6,6% yoy di 2019.


Yang menarik dilihat adalah pertumbuhan ekonomi AS yang meningkat dari 1,5% yoy di 2016 menjadi 2,3% yoy di 2017 yang ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang membaik. Kenaikan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan terus meningkat di 2018-2019 yang dipicu oleh stimulus fiskal melalui kebijakan reformasi perpajakan, terutama dari sisi investasi seiring dengan penurunan pajak korporasi. IMF sendiri melihat perbaikan ini dengan terus merevisi ke atas prediksi pertumbuhan ekonomi AS sejak mengeluarkan World Economi Outlook di Oktober 2017 sampai dengan April 2018 (tabel 1).  Tampak bahwa prediksi IMF terhadap pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun 2018 terus meningkat dari 2,3% yoy (WEO Oktober 2017), menjadi 2,5% yoy (WEO Januari 2018) dan akhirnya 2,9% yoy di WEO April 2018. Hal yang sama juga terjadi untuk prediksi pertumbuhan ekonomi Kawasan Eropa.


Tabel 1. Perubahan prediksi IMF mengenai pertumbuhan ekonomi dunia



Sumber: IMF


Peningkatan pertumbuhan ekonomi global mempunyai dampak positif terhadap volume perdagangan dan harga komoditas dunia. Kedua hal inilah yang telah menguntungkan kinerja ekspor Indonesia yang bisa tumbuh 9,1% yoy di 2017, jauh lebih tinggi daripada pertumbuhannya di 2016 yang hanya sebesar -1,6% yoy. Meskipun masih akan menunjukkan tren yang meningkat, namun kenaikan harga komoditi akan lebih terbatas, sehingga diperkirakan kinerja ekspor Indonesia tahun 2018 tidak akan sebaik tahun 2017.


Namun demikian, sektor keuangan global akan menghadapi tantangan yang menyangkut Vulnerabilities, Uncertainties, Complexities,dan Ambiguities (VUCA) atau dengan kata lain sektor keuangan dunia akan menghadapi resiko yang tinggi, yang bercampur dengan ketidakpastian yang akan menambah rumit, semakin tidak jelas dan tidak pasti, serta membingungkan. Kondisi ini didorong oleh perubahan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang terutama dilakukan oleh AS.


Sumber VUCA yang pertama berasal dari Kebijakan Fiskal pemerintah AS yaitu kebijakan pengurangan pajak dan menguatnya proteksionisme yang dapat berujung pada perang dagang (trade war). Perkembangan perang tarif antara AS dengan Tiongkok semakin memanas setelah pada tanggal 1 Maret 2018 AS mengumumkan penerapan tarif sebesar 25% pada baja impor dan 10% pada aluminium impor.
Meskipun pengenaan tarif ini berlaku untuk semua negara, namun sebenarnya lebih ditujukan pada Tiongkok, karena pada tanggal 22 Maret 2018 AS kembali menerapkan tarif sebesar USD60 miliar atas barang impor dari Tiongkok. Sebagai tindakan balasan, pada tanggal 2 April 2018 Tiongkok mengumumkan pengenaan tarif atas 128 produk impor dari AS senilai USD3 miliar. Perang dagang ini tentunya akan berpotensi mengurangi volume perdagangan dunia yang dapat berujung pada turunnya harga komoditas global.


Sementara sumber VUCA yang kedua berasal dari Kebijakan Moneter dimana kebijakan moneter non-konvesional, yang ditandai dengan likuiditas yang longgar atau murah, sudah atau akan segera berakhir. Merespon tekanan yang muncul akibat perekonomian yang membaik sekaligus untuk memitigasi resiko yang akan dapat muncul dari implementasi kebijakan moneter yang akomodatif dalam periode waktu yang cukup lama, maka bank sentral negara maju (terutama the Fed dan ECB) telah melakukan normalisasi kebijakan moneter. Normalisasi yang dilakukan the Fed adalah dengan menaikkan suku bunga acuan dan juga melakukan penjualan aset yang dimiliki (balance sheet reduction). Sementara untuk Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) dilakukan dengan mengurangi intensitas pembelian asetnya.


Bank Sentral AS (the Fed) dan Inggris (Bank of England) sudah melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan melakukan peningkatan suku bunga kebijakan (grafik 2 dan 3). Normalisasi kebijakan AS sudah berlangsung sejak akhir tahun 2015 dalam bentuk kenaikan suku bunga kebijakan sebanyak 6 kali dengan total kenaikan 150bps dan juga dengan balance sheet reduction yang dimulai pada bulan Oktober 2017.


Grafik 2. Perubahan dan posisi suku bunga kebijakan moneter negara maju



Sumber: Bloomberg

Grafik 3. Pergerakan suku bunga kebijakan moneter negara maju


Sumber: Bloomberg


Untuk tahun 2018, awalnya the Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga kebijakan sebanyak 3 kali (sudah melakukan 1 kali kenaikan di bulan Maret 2018) sepanjang tahun 2018, yaitu pada bulan Maret, Juni dan Desember. Namun melihat kondisi ekonomi AS yang semakin membaik, seperti semakin kuatnya pertumbuhan ekonomi, terus turunnya tingkat pengangguran dan inflasi inti yang mendekati target jangka panjang sebesar 2%, maka kini diperkirakan the Fed akan lebih agresif dalam melakukan normalisasi kebijakan moneter dengan 4 kali kenaikan sepanjang 2018.


Data ekonomi AS  yang keluar semakin menunjukkan kondisi yang membaik, seperti pertumbuhan ekonomi yang makin solid dan juga inflasi yang terus meningkat akibat naiknya harga minyak dunia. Akibatnya pasar semakin yakin bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga kebijakan lebih dari tiga kali pada tahun 2018. Di luar jadwal pertemuan bulan Juni dan Desember, maka jendela untuk kenaikan lanjutan terbuka di pertemuan bulan Mei, Agustus dan September.


Kami melihat kemungkinan tambahan kenaikan akan terjadi pada periode antara Juni-Desember karena akan ada tiga kali pertemuan (Fed Meeting) yaitu tanggal 1 Agustus, 26 September, dan 8 November 2018. Apalagi dalam perkembangan terahir, yield dari Treasury Bond 10 tahun pada tanggal 24 April 2018 menembus 3%, level tertingginya sejak Januari 2014. Hal ini mendorong spekulasi bahwa langkah normalisasi kebijakan moneter the Fed akan lebih cepat lagi dari perkiraan awal.


Grafik 4. Pergerakan Suku bunga Kebijakan the Fed vs Tinggi Badan Fed Chairman/woman




Meskipun tidak ada hubungannya, namun muncul pula anekdot bahwa pergerakan suku bunga kebijakan the Fed disesuaikan dengan tinggi badan Fed Chairman/woman seperti tampak pada grafik 4 di atas. Memang suku bunga kebijakan the Fed terus turun sejak the Fed dipimpin oleh Paul Volcker di era tahun 1980an sampai Janet Yellen di awal 2018. Chairman the Fed yang baru, Jerome Powell, memang lebih tinggi daripada Janet Yellen, sehingga kemudian dihubungkan dengan kemungkinan kebijakan moneter the Fed yang lebih ketat.


Namun sebenarnya, proses kebijakan moneter the Fed saat ini tidak secepat fase normalisasi yang terjadi pada tahun 1994, 1999 dan 2004. Pada ketiga periode tersebut, normalisasi suku bunga kebijakan dilakukan the Fed sebesar 250-300bps dalam periode 2 tahun. Sementara tampaknya saat ini the Fed lebih mengambil kebijakan normalisasi yang gradual dan lebih perlahan karena selama 2 tahun terakhir kenaikan suku bunga kebijakan the Fed hanya sebesar 150bps. Hal ini dilakukan karena tekanan inflasi dan kenaikan upah saat ini tidak sekuat yang terjadi pada periode sebelumnya tersebut.


Di belahan dunia yang lain, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) belum menaikkan suku bunga kebijakan, namun normalisasi kebijakan moneter sudah dilakukan dengan mengurangi volume pembelian surat hutang (Quantitative Easing) dari EUR80 miliar per bulan menjadi EUR60 miliar per bulan sejak Maret 2017, yang kemudian diturunkan lagi menjadi hanya EUR40 miliar per bulan di Ojktober 2017.


Sementara itu, kebijakan moneter negara berkembang secara umum masih bersifat akomodatif, dimana beberapa negara seperti Brazil, Rusia, Kolombia, Peru dan Indonesia masih melakukan penurunan suku bunga kebijakan karena masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi di tengah rendahnya inflasi. Namun ada pula beberapa negara berkembang yang sudah menaikkan suku bunga kebijakannya seperti Meksiko dan Turki karena meningkatnya tekanan inflasi di kedua negara tersebut akibat depresiasi nilai tukar mereka.


Meningkatnya VUCA tersebut berpotensi mempengaruhi aliran modal asing, termasuk potensi berkurangnya aliran modal masuk ke negara-negara berkembang, dan Indonesia tidak luput dari hal ini. Melemahnya rupiah merupakan salah satu akibat dari keluarnya sebagian dana asing dari Indonesia yang kembali masuk ke AS, terutama dari pasar saham. 


Grafik 5. Rupiah melemah akibat penguatan US dollar…



Sumber: Bloomberg



Pelemahan rupiah awalnya terjadi di bulan September 2017 setelah Presiden Trump mengajukan Paket Pengurangan Pajak dan the Fed mengatakan akan terus menaikkan suku bunga kebijakan. Namun pada bulan Januari 2018, rupiah kembali menguat dari level 13.500an menjadi 13.300an yang bertahan sampai bulan Februari 2018.


Pidato Jerome Powell sebagai Chairman the Fed yang baru pada bulan Maret 2018 dipersepsikan oleh pasar bahwa the Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga kebijakan moneter. Akibatnya US dollar kembali menguat yang berujung pada melemahnya rupiah dan bertahan pada level 13.700an sampai dengan pertengahan April 2018.


Pasokan USD di pasar dalam negeri yang cenderung tidak bertambah, karena terbatasnya surplus Neraca Perdagangan (USD0,3 miliar di 3M18 vs USD4,1 miliar di 3M17) dan stabilnya posisi kepemilikan asing di SBN, sementara permintaan USD cenderung meningkat karena adanya outflow dari pasar saham (net equity outflow mencapai sekitar USD300 juta) dan juga permintaan musiman dari korporasi untuk repatriasi dividen tahunan, serta meningkatnya impor. Akibatnya rupiah dalam seminggu terakhir mengalami pelemahan dan hampir menyentuh level Rp14.000 per USD.


Grafik 6 menunjukkan bahwa sebenarnya rupiah berpotensi untuk menguat antara bulan Januari-Agustus 2017 di tengah melemahnya nilai USD. Namun pada periode tersebut BI memilih untuk mempertahankan level rupiah sambil mengakumulasi posisi cadangan devisa. Kebijakan ini diambil sebagai upaya untuk membentuk cushion (bantalan), dalam bentuk cadangan devisa, yang dapat dipakai jika kondisi memburuk. Karena itulah dikala rupiah stabil di level Rp13.300 per USD, posisi cadangan devisa meningkat sebesar USD13 miliar sepanjang 9 bulan pertama tahun 2017 dan mencapai level tertinggi saat itu yaitu USD129,4 miliar pada bulan September 2017.


Untuk menjaga volatilitas harian dari rupiah, Bank Indonesia (BI) menggunakan cadangan devisa sebanyak USD3,5 miliar pada Oktober dan November 2017, sehingga posisinya turun menjadi USD126 miliar di akhir November 2017. Meskipun sempat meningkat lagi dan mencapai level tertingginya di USD132 miliar pada bulan Januari 2018, namun karena rupiah kembali melemah dari Rp13.386 per USD di akhir Januari 2018 menjadi Rp13.700an per USD di akhir Maret 2017 maka posisi cadangan devisa kembali turun ke level USD126 miliar pada akhir Maret 2018, atau turun USD6 miliar dalam 2 bulan.



Grafik 6. …sehingga akumulasi cadangan devisa tertahan …   



Sumber: BI


Dalam perkembangan terakhir, tampaknya BI masih akan fokus dalam menggunakan cadangan devisa untuk menjaga volatilitas rupiah dan mengatakan bahwa kenaikan suku bunga acuan saat ini masih dipandang sebagai last resort (senjata akhir).


Grafik 7. …namun demikian pelemahan dan volatilitas rupiah bukan yang terburuk (Januari-April 2018)



Sumber: Diolah dari Bloomberg


Dari grafik 7 tampak bahwa sejak awal tahun rupiah sudah melemah sebesar 3,97% dan merupakan yang mengalami depresiasi yang terbesar diantara mata uang negara ASEAN, tetapi masih tidak sedalam pelemahan mata uang negara berkembang lainnya seperti rupee India (-5,05%), lira Turki (-8,73%), dan real Brazil (-8,94%). Namun bila dilihat dari volatilitasnya maka volatilitas rupiah (5,46%) masih lebih rendah dibandingkan ringgit Malaysia (5,69%), lira Turki (12,75%) dan real Brazil (12,77%).


Dalam minggu terakhir bulan April 2018, kondisi pasar global mengalami ketidakpastian yang dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) US Treasury 10 year yang menembus angka 3%, level tertingginya dalam 4 tahun terakhir. Kenaikan yield ini dipicu oleh semakin yakinnya pasar kalau the Fed akan lebih cepat dan lebih besar dalam menaikkan suku bunga acuannya, berdasarkan data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang semakin solid.


Kenaikan yield UST10 year ini menyebabkan jatuhnya indeks harga saham di AS sebesar 10-12% akibat dari prospek naik tajamnya yield USD. Akibat lanjutannya berimbas pada pasar obligasi dan saham global. Investor melakukan penyesuaian alokasi portfolio, yaitu antar-kelas asset dan antar negara.


Kemungkinan terjadinya perang dagang AS-Tiongkok dan naiknya harga minyak dunia semakin mendorong capital outflow dari emerging market. Tabel 2 menunjukkan kenaikan yield UST telah mendorong capital outflow dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Untuk Indonesia perkembangannya sampai dengan tanggal 26 April 2018 adalah:
1.      Capital flows:
a.      Pasar Obligasi masih mengalami net inflow sebesar US$1,66 miliar (karena investornya sebagian besar adalah real player yang long term)
b.      Pasar Saham mengalami net outflow sebesar US$2,30 miliar
2.      Perubahan:
a.      Rupiah mengalami depresiasi sebesar 2,41%
b.      Yield Obligasi mencapai 7,13% dengan perubahan sebesar 84,20bps
c.      IHSG mengalami penurunan sebesar 6,89%
Dilihat dari Tabel 2 tampak bahwa negara ASEAN yang terkena imbas terburuk adalah Filipina (bukan Indonesia) karena memang manajemen fiskal dan moneter Filipina tidak dijaga dengan baik.


Tabel 2. Kondisi Pasar Valas, Obligasi dan Saham Negara Berkembang



Sumber: Bloomberg


Namun rupiah mengalami depresiasi yang terburuk karena terdorong oleh data-data makroekonomi sampai dengan Maret 2018 yang dipersepsikan akan membuat tahun 2018 tidak akan sebaik tahun 2017, seperti misalnya terjadinya defisit Neraca  Perdagangan selama 2 bulan berturut-turut di Januari-Februari 2018, yang akhirnya memunculkan ekspektasi bawah surplus neraca perdagangan di 2018 akan lebih rendah dibanding 2017, perkiraan meningkatnya current account deficit, dan tekanan jual yang terus berlanjut di pasar modal.


Menghadapi hal ini Bank Indonesia sudah mengeluarkan statement yang intinya:
1.      BI senantiasa berada di pasar, artinya akan terus menjaga volatilitas rupiah dengan menggunakan cadangan devisa. Setelah mencapai level tertinggi di US$132 miliar di Januari 2018, posisi cadangan devisa turun US$6 miliar antara periode Februari-Maret karena dipakai BI untuk menjaga volatilitas harian rupiah. Untuk bulan April 2018, BI kembali menggunakan cadangan devisa untuk menjaga nilai rupiah dengan jumlah yang sama sehingga pada akhir April 2018 kami perkirakan cadangan devisa turun menjadi US$120 miliar
2.      Mempersiapkan second line of defense bersama dengan institusi domestik
3.      BI tetap membuka peluang kenaikan suku bunga acuan (7DRRR), namun untuk saat ini masih merupakan pilihan terakhir


Koreksi juga terjadi di pasar saham dengan turunnya IHSG lebih dari 6% ytd, termasuk harga saham bank BUMN. Namun sebelum membahas kinerja harga saham bank BUMN sepanjang tahun 2018 (year-to-date 27 April 2018), ada baiknya kita melihat kembali kinerja harga saham bank BUMN sepanjang tahun 2017. Sepanjang tahun 2017, IHSG naik sebesar 20%, sementara harga saham Bank Mandiri (BMRI) naik 38,2%, Bank BRI (BBRI) naik 55,9%, Bank BNI (BBNI) naik 79,2%, dan Bank BTN (BBTN) naik tertinggi yaitu sebesar 105,2% (grafik 8).


Grafik 8. Persentase kenaikan harga saham bank BUMN dan IHSG sepanjang 2017



Sumber: BEI


Antara periode awal tahun 2018 sampai tanggal 27 April 2018 (year-to-date), penurunan terbesar dialami oleh BBNI sebesar 17,7% dan diikuti oleh BBTN (14,6%), BBRI (13,5%) dan BMRI (13,4%) ketika IHSG hanya turun sebesar 6,1%.


Grafik 9. Persentase penurunan harga saham bank BUMN dan IHSG



Sumber: BEI


Namun memasuki bulan April 2018, penurunan terbesar dialami oleh BBTN yaitu sebesar 19,7% (month-to-date), 18,4% (selama Maret-April 2018) dan 17,3% (selama seminggu terakhir bulan April 2018). Paling tidak ada 2 penyebabnya yaitu:
1.      Discount Factor: ketika harga saham BMRI, BBRI dan BBNI sudah mengalami penurunan, BBTN justru masih mengalami kenaikan harga. Sehingga ketika akhirnya harga BBTN turun  maka terjadi fenomena playing catch-up yang mendorong penurunan harga BBTN menjadi yang terbesar. Selain itu juga ada sebagian investor yang take profit di tengah kondisi yang tidak kondusif ini, setelah mereka mengalami keuntungan lebih dari 100% tahun lalu.
2.      Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan BI akan mendorong cost of fund BTN. Funding structure BTN yang masih didominasi oleh time deposit (51%) dan juga LDR yang di atas 100% dipersepsikan akan dapat mengurangi profitabilitas bank BTN di tengah kondisi suku bunga acuan yang akan terus naik. 
Dengan kondisi pasar perumahan yang masih akan tumbuh, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memang mendorong setiap penduduk Indonesia untuk mempunyai rumah sendiri dan jumlah backlog perumahan yang masih tinggi, maka kinerja harga saham BBTN masih berpotensi untuk terus meningkat.


Arah Kebijakan Moneter Bank Indonesia


Di tengah kenaikan suku bunga kebijakan the Fed, BI justru masih dapat menerapkan Kebijakan Moneter yang akomodatif karena masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi nasional di tengah rendahnya inflasi. Ketika the Fed sudah menaikkan suku bunga kebijakannya sebesar 150bps, BI justru masih dapat menurunkannya sebesar 225bps antara periode Januari 2015 sampai sekarang.


Meningkatnya VUCA menjadi tantangan tersendiri bagi Bank Indonesia (BI) dalam menjalankan kebijakan moneter. Saat ini kebijakan moneter BI besifat netral yang berarti ruang untuk penurunan suku bunga kebijakan tidak ada lagi dan sudah bersiap untuk menaikkannya.


Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) tanggal 19 April kemarin, BI mempertahankan suku bunga acuan pada 4,25% yang berarti sudah berada pada level tersebut sejak bulan September 2017.

Grafik 10. Suku bunga Kebijakan Moneter BI sudah turun 225bps sejak Januari 2015



Sumber: BI

Bank Sentral AS (the Fed) dalam pertemuannya bulan Mei 2018 mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah pada level 1,50-1,75% namun dengan penekanan bahwa inflasi AS sudah makin mendekati target the Fed sebesar 2%. Dengan keputusan ini, the Fed diperkirakan akan tetap secara gradual menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan bulan Juni dan Desember.


Keputusan the Fed sangat data dependent artinya akan dipengaruhi oleh data-data ekonomi yang akan keluar. Karena itulah tetap terbuka kemungkinan bahwa the Fed akan dapat menaikkan suku bunga acuan pada periode antara Juni-Desember jika memang data-data ekonomi, terutama inflasi dan pertumbuhan ekonomi, secara konsisten terus membaik.


Dengan perkembangan ini kami tetap memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan dapat menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50bps pada semester 2 tahun 2018. Perkiraan awal kami, BI akan menaikkannya di bulan November dan Desember 2018. Namun bila the Fed menaikkan suku bunga acuan di pertemuan bulan Agustus 2018, maka dapat saja BI mempercepat kenaikan suku bunganya pada bulan Agustus-September 2018 dengan besaran yang sama.


Grafik 11. BI akan mengikuti Kebijakan Moneter Ketat di 2H 2018, namun bisa jadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya



Sumber: Bloomberg


Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist Bank BTN

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua