Spinner Icon

Suku Bunga Acuan Bank Indonesia - Upaya Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Author Image
Makro Update · 28 Agustus 2017
BI menurunkan suku bunga acuan


Di tengah wacana terjadinya penurunan daya beli masyarakat Indonesia, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuannya (7Day Reverse Repo Rate) menjadi 4,5% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang diadakan pada tanggal 22 Agustus 2017. Selain itu, BI juga menurunkan suku bunga Deposit Facility pada 3,75% dan Lending Facility pada 5,25%. Ini merupakan penurunan pertama setelah BI menurunkannya pada bulan Oktober 2016 menjadi 4,75% (grafik 1).


Grafik 1. Inflasi Indonesia vs Policy Rate Bank Indonesia dan the Fed



Sumber: Bank Indonesia


Keputusan BI ini merupakan upaya untuk tetap mendukung momentum pemulihan ekonomi nasional mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah dalam tren yang meningkat namun masih lemah. Sebelumnya Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia kuartal 2 2017 dimana ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% yoy yang terutama didorong oleh Konsumsi Rumah Tangga dan Investasi.

Grafik 2. Ekonomi Indonesia masih didukung oleh Konsumsi dan Investasi




Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)


Peranan Konsumsi Rumah Tangga


Konsumsi Rumah Tangga tumbuh sebesar 4,95% yoy pada kuartal 2 2017, yang berarti sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhannya di kuartal 1 yang sebesar 4,94% yoy. Mengingat kontribusi Konsumsi Rumah Tangga mencapai 56% terhadap ekonomi Indonesia, maka upaya untuk menjaga pertumbuhannya menjadi suatu hal yang penting. Pola konsumsi masyarakat Indonesia terbagi dalam 6 bagian (grafik 3) yaitu

  1. Makan dan minum selain restoran, yang tumbuh relatif stabil pada level 5%
  2. Piranti Rumah Tangga seperti pakaian dan sepatu yang sudah mengalami penurunan pertumbuhan
  3. Perlengkapan rumah tangga, yang merupakan alat rumah tangga tahan lama seperti telepon selular, TV dan lemari es yang juga mengalami penurunan pertumbuhan
  4. Pendidikan dan Kesehatan yang pertumbuhannya fluktuatif namun meningkat seiring meningkatnya penghasilan
  5. Transportasi dan Komunikasi yang sangat tergantumg perubahan harga BBM
  6. Hotel dan Restoran, atau pengeluaran untuk rekreasi, yang pertumbuhannya meningkat sejak periode commodity boom dan sejak saat itu tumbuh relatif stabil


Grafik 3. Pertumbuhan Komponen Konsumsi Rumah Tangga




Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)


Setelah periode commodity boom berakhir, pendapatan riil mayoritas pekerja di Indonesia sebenarnya mengalami penurunan. Dan ketika penghasilannya tidak meningkat, di tengah biaya atau pengeluaran rumah tangga yang semakin meningkat, maka sebagai upaya untuk mempertahankan konsumsi makanan dan minuman serta kebutuhan untuk rekreasinya mereka akan mengurangi jenis konsumsi yang lain, terutama yang terkait dengan piranti dan perlengkapan rumah tangga. Dari grafik 3 tampak bahwa pertumbuhan piranti dan perlengkapan rumah tangga mengalami penurunan pertumbuhan sejak tahun 2014.


Yang perlu diwaspadai adalah penurunan pertumbuhan konsumsi kelas menengah seperti yang terlihat pada grafik 4 yang membagi pola konsumsi masyarakat Indonesia dalam 10 desil. Pertumbuhan riil pengeluaran untuk desil 1-4, yang merupakan penduduk miskin, pada tahun 2017 lebih tinggi dari tahun sebelumnya karena mereka mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sementara desil 10 yang merupakan kelompok orang kaya tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi sehingga pertumbuhan pengeluarannya tahun 2017 tetap lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Adapun untuk desil 5-9 yang mayoritas merupakan kelas menengah mengalami penurunan pertumbuhan riil pengeluaran per kapita, yang disebabkan oleh turunnya penghasilan riil ataupun karena mereka menahan belanja (dan berubah ke menabung) karena adanya ekspektasi pengeluaran yang lebih besar di masa mendatang. Menjadi penting sekali untuk dapat menjaga pertumbuhan pengeluaran kelompok desil 5-9 karena mempunyai sumbangan yang besar terhadap pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga.


Grafik 4. Laju pertumbuhan riil pengeluaran per kapita tahunan berdasarkan desil, 2013-2017




Sumber: TNP2K

Faktor yang mempengaruhi keputusan BI


Kembali ke hasil keputusan RDG BI, faktor global yang mempengaruhi keputusan BI adalah kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang meskipun menunjukkan tren yang membaik namun tampaknya lebih rendah dari ekspektasi awal, sehingga memperlambat gerak Bank Sentral AS (the Fed) dalam melakukan lanjutan normalisasi suku bunga acuan. Sebelumnya diperkirakan suku bunga acuan the Fed (Fed rate) akan kembali dinaikkan pada bulan September 2017 dan diikuti dengan normalisasi neraca the Fed (balance sheet reduction). Namun perkiraannya saat ini baru akan dinaikkan pada bulan Desember 2017 dan ini tentu saja memberikan ruang bagi BI untuk dapat menurunkan suku bunga acuannya.


Sementara faktor dalam negeri yang menjadi pertimbangan BI adalah inflasi yang lebih rendah dari perkiraan awal. Perlu diketahui bahwa rendahnya inflasi disebabkan oleh rendahnya harga makanan (harga makanan mengalami deflasi selama 3 bulan berturut-turut menjelang Lebaran) dan keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif listrik, harga BBM dan gas di semester 2 2017 ini. Faktor lain yang menjadi pertimbangan BI adalah karena terjaganya posisi defisit transaksi berjalan pada level 1,96% dari PDB dan posisi cadangan devisa yang mencatat rekor tertinggi sebesar US$127,8 miliar pada bulan Juli 2017.


Di tengah kondisi normalisasi suku bunga acuan global, langkah BI untuk mengambil kebijakan moneter yang akomodatif ini tidaklah sendirian karena sepanjang tahun 2017 ini paling tidak ada 6 Bank Sentral lain yang menurunkan suku bunga acuannya (tabel 1). Upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri menjadi pertimbangan utama dari ke 7 Bank Sentral tersebut dalam menurunkan suku bunga acuan, meskipun 3 Bank Sentral lain sudah menaikkan suku bunga acuannya. Perubahan drastis atas prediksi ekonomi global memang terjadi ketika memasuki semester 2 tahun ini yang mendorong 4 Bank Sentral menurunkan suku bunga acuannya di bulan Juli dan Agustus 2017.


Tabel 1. Kebijakan Moneter Beberapa Bank Sentral Dunia




Sumber: Global-rates.com


Upaya mendorong intermediasi perbankan


BI menyatakan bahwa penurunan suku bunga acuan ini diharapkan dapat memperkuat intermediasi perbankan karena memang sampai dengan bulan Juni 2017 fungsi intermediasi perbankan masih sangat lemah. Meskipun di satu sisi sektor perbankan tetap menunjukkan kondisi yang solid dengan rasio kecukupan modal mencapai 22,5% dan rasio likuiditas (AL/DPK) mencapai 21,2%, namun di sisi lain fungsi intermediasi masih terhambat oleh rasio kredit bermasalah yang masih tertahan di level 3,0% (gross) atau 1,4% (net).


Masih relatif tingginya rasio NPL mendorong perbankan untuk tetap fokus pada upaya menjaga kualitas kredit. Akibatnya penyaluran kredit terhambat dan hanya tumbuh sebesar 7,8% yoy pada bulan Juni 2017, lebih rendah dari bulan sebelumnya yang sebesar 8,7% yoy. Mengingat year-to-date pertumbuhan kredit sampai dengan bulan Juni 2017 baru mencapai 2,6% maka BI juga merevisi perkiraan pertumbuhan kredit di akhir tahun 2017 menjadi dalam kisaran 8-10%, untuk kemudian meningkat menjadi kisaran 10-12% pada tahun 2018.


Penurunan pertumbuhan juga dialami oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang hanya tumbuh sebesar 10,3% yoy pada bulan Juni 2017, turun dari 11,2% yoy pada bulan sebelumnya. Dengan posisi DPK yang mencapai Rp5.046 triliun pada bulan Juni 2017, berarti pertumbuhan year-to-date mencapai 4,3%. BI memperkirakan DPK akan tumbuh di kisaran 9-11% masing-masing di akhir 2017 dan 2018.


Grafik 5. Pertumbuhan Kredit dan DPK serta LDR




Sumber: Bank Indonesia


Kami memandang bahwa kondisi ekonomi dalam negeri akan menjadi faktor utama yang akan mempengaruhi kebijakan moneter BI sampai akhir tahun 2017, karena tampaknya belum akan terlihat adanya kejutan dari faktor global terutama dari kebijakan moneter the Fed. Dengan dibatalkannya kenaikan administered prices di semester 2 2017 dan tidak ada rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM sepanjang tahun 2018, maka tekanan inflasi akan lebih rendah dari perkiraan semula.


Hal ini akan memberikan ruang bagi BI untuk mendorong proses intermediasi perbankan dengan sekali lagi menurunkan suku bunga acuannya, untuk kemudian dipertahankan pada level 4,25% sampai semester 1 tahun 2018. Normalisasi kebijakan moneter BI akan dapat dijalankan kembali di semester 2 tahun 2018 mengikuti normalisasi kebijakan suku bunga the Fed, sehingga suku bunga acuan BI akan kembali naik ke 4,75-5,00% di akhir tahun 2018. Di samping itu, BI tetap dapat mengoptimalkan bauran kebijakan moneter termasuk kebijakan makroprudensial.


Oleh:

Winang Budoyo
Chief Economist bank BTN

 

Artikel Terkait

Lihat Semua

Artikel Terpopuler

Lihat Semua